Bahkan tidak jarang pakaian mereka masih mempertontonkan aurat. Anak anak putri yang belum berhijab misalnya, ke masjid dengan menenteng mukena dan baru dikenakan ketika sudah berada di masjid.
Begitu juga para muslimah dewasa. Mereka baru memakai hijab sempurna atau mukena di dalam masjid. Itu pun mukena yang disediakan pengurus masjid.
Sementara remaja dan pria dewasa muslim, kerap masuk masjid untuk salat berjamaah hanya memakai kaos oblong. Kalau sedang tidak ada salat berjamaah, sudah biasa mereka masuk masjid memakai celana pendek.
Kalau perlaku umat Islam saja demikian, lalu di mana letak kesakralan tempat ibadah umat Islam? Padahal perintah Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 31 secara tegas menyebutkan:
۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
”Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”.
Baca juga: Membina Saudara Baru melalui Baitul Arqam Mualaf
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar manusia semampu mungkin untuk mengenakan pakaian bersih yang indah ketika memasuki masjid dan mengerjakan ibadah. Selain sopan dan bersih pakaian tersebut juga menutupi aurat dengan memenuhi syarat-syarat hijab.
Kalau umat Islam bersedia berpartisipasi menjaga kesakralan tempat ibadah agama lain dengan dalih apa pun, termasuk berwisata, mengapa masjid yang merupakan tempat ibadah sendiri tidak diperlakukan sama? Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab seluruh muslim.