JAKARTAMU.COM | Kabinet Merah Putih di bidang hukum tidak kompak. Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas berpendapat kasus korupsi bisa dihentikan dengan uang damai. Tetapi Kejaksaan Agung membantahnya.
Supratman mengatakan, pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa memperoleh pengampunan melalui denda damai. Hal ini merupakan kewenangan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang diatur dalam undang-undang (UU) terbaru.
“Tanpa lewat presiden pun, memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
Baca juga: Prabowo: Jangan Korupsi
Denda damai yang dimaksud penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui jaksa agung. Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.
Supratman menerangkan, mplementasi denda damai masih menunggu peraturan turunan dari UU Kejaksaan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat bahwa peraturan turunannya dalam bentuk Peraturan Jaksa Agung.
“Peraturan turunannya yang belum. Kami sepakat antara pemerintah dan DPR, itu cukup peraturan Jaksa Agung,” lanjutnya.
Menurut dia, dalam penanganan kasus korupsi, pemerintah menaruh perhatian besar aspek pemulihan aset. “Yang paling penting bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery (pemulihan aset) itu bisa berjalan,” tutur mantan Ketua Badan Legislasi DPR tersebut.
Apabila pemulihan asetnya bisa baik, kata dia, pengembalian kerugian negara pun bisa maksimal, dibandingkan dari sekadar menghukum.
Baca juga: Berantas Korupsi? Bohong!
Korupsi Bukan Pidana Ekonomi
Namun, Kejagung punya penjelasan berbeda. UU Nomor 11/2021 tentang Kejaksaan memang mengatur mekanisme denda damai untuk menyelesaikan tindak pidana. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, ketentuan denda damai tercantum pada Pasal 35 ayat (1) huruf k.
Tetapi yang dimaksud pasal ini hanyalah untuk tindak pidana UU sektoral yang merugikan perekonomian negara. ”Misalnya tindak pidana kepabeanan, bea cukai, dan lain-lain,” ujar dia dalam keterangan tertulis kepada wartawan, yang dikutip Selasa (24/12/2024).
Bagaimana dengan korupsi? Menurut dia, Kejagung tetap mengacu UU Tindak Pidana Koruosi dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, dalam hal ini Pasal 2 dan Pasal 3.
Dia menegaskan bahwa secara yuridis, korupsi tak termasuk dalam ranah pidana yang dapat ”didamaikan” dengan denda, sebagaimana bunyi Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Kejaksaan.
“Kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” ungkapnya.