JAKARTAMU.COM | Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, terkadang kita lupa bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari harta yang dimiliki, tetapi dari ketulusan hati dan empati terhadap sesama. Kisah Ibu Wati yang diviralkan karena memberikan amplop berisi Rp5.000 di sebuah pesta pernikahan menggambarkan fenomena yang menyedihkan: hilangnya rasa empati dan bertambahnya kesenjangan sosial.
Sebagai Muslim, kita diajarkan bahwa harta hanyalah titipan, dan salah satu bentuk keberkahan adalah bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kurang mampu dengan kasih sayang dan penghormatan. Allah tidak menilai jumlah pemberian, tetapi ketulusan di baliknya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.”
(QS. Al-Baqarah: 264)
Hadis Nabi juga menegaskan pentingnya menghormati orang miskin dan tidak mempermalukan mereka:
رُبَّ دِرْهَمٍ سَبَقَ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ
“Bisa jadi satu dirham lebih baik daripada seratus ribu dirham.”
(HR. An-Nasa’i dan Ahmad)
Hadis ini mengajarkan bahwa nilai sebuah pemberian bukan dari jumlahnya, melainkan dari pengorbanan dan niat tulus di baliknya.
- Ketimpangan Sosial dan Hilangnya Rasa Empati
Fenomena yang terjadi pada Ibu Wati memperlihatkan bagaimana kesenjangan sosial menciptakan stigma terhadap orang miskin. Mereka yang memiliki harta berlimpah merasa berhak untuk menilai seseorang berdasarkan kemampuannya dalam memberi.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, angka ketimpangan ekonomi di Indonesia masih tinggi, dengan koefisien Gini sebesar 0,388. Artinya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin masih lebar.
Padahal, Islam menekankan bahwa kekayaan adalah ujian, bukan kebanggaan. Mereka yang diberikan rezeki lebih seharusnya membantu dan merangkul saudara-saudaranya yang kesulitan, bukan malah mempermalukan mereka.
- Ramadhan: Waktu untuk Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Kebaikan
Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga waktu untuk membersihkan hati dan meningkatkan kepedulian sosial.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikit pun.”
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadis ini mengajarkan bahwa menolong orang yang kekurangan dan memberi makan mereka adalah amalan yang luar biasa di sisi Allah.
Sebaliknya, mempermalukan orang miskin atau meremehkan pemberian mereka adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW bahkan dikenal sebagai pemimpin yang selalu mengutamakan kepedulian terhadap fakir miskin dan kaum dhuafa.
- Kembali ke Nilai-Nilai Kemanusiaan
Untuk mengatasi hilangnya empati dalam masyarakat, kita perlu kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam Islam:
- Menghormati setiap orang, tanpa melihat status ekonominya.
- Memberi dengan tulus tanpa mengharapkan balasan.
- Tidak mempermalukan atau menyindir orang yang kurang mampu.
- Menanamkan pendidikan sosial kepada anak-anak sejak dini.
- Menghidupkan kembali semangat gotong royong dan berbagi di masyarakat.
Kesimpulan
Kisah Ibu Wati seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk merenungi kembali bagaimana kita memperlakukan sesama manusia.
Jika kita masih mengukur seseorang berdasarkan jumlah uang yang diberikannya, maka kita telah gagal memahami makna sejati dari kebaikan.
Sebagaimana firman Allah:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
(QS. Al-Insan: 8-9)
Maka, di bulan suci ini, marilah kita kembalikan empati yang mulai hilang, dan jadikan hati kita lebih lembut terhadap mereka yang kurang beruntung. Sebab, mungkin saja mereka yang kita remehkan hari ini, kelak akan menjadi sebab kita mendapatkan rahmat Allah di akhirat. (Dwi Taufan Hidayat)