Senin, Maret 31, 2025
No menu items!
spot_img

Merawat Tradisi Betawi di Perayaan Lebaran

Must Read


Oleh: Gufron Amirullah | Dosen FKIP Uhamka/Anak Betawi Karet Belakang

PERUBAHAN drastis melanda Jakarta ketika jutaan penduduk pendatang berbondong-bondong mudik, meninggalkan hiruk-pikuk ibu kota. Kepadatan, kebisingan, dan keramaian manusia lenyap, tergantikan oleh suasana lengang. Bahkan, muncul ungkapan bahwa Lebaran menjadi satu-satunya solusi kemacetan di Jakarta.

Dalam kontras suasana ini, masyarakat Betawi, sebagai penduduk asli Jakarta, memiliki cara unik dan kaya budaya untuk merayakan penghujung Ramadan dan menyambut Idul Fitri.

Masyarakat Betawi memanfaatkan momen lengangnya ibu kota untuk memperbanyak ibadah. Seperti umat Muslim lainnya, mereka menghidupkan 10 malam terakhir Ramadan dengan “likuran” atau i’tikaf di masjid, demi meraih Lailatul Qadar.

Dahulu, malam “likuran” di kampung-kampung Betawi semarak dengan cahaya lampu minyak, petromaks, atau lilin, dan rumah-rumah berhias kapur putih, menciptakan suasana khidmat dan penuh kehangatan.

Lebaran anak-anak mengenakan baju baru.

Budaya Tukar Rantang

Masyarakat betawi juga sibuk menyambut Idul Fitri di penghujung Ramadan. Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh adalah pembelian baju baru bagi anak-anak. Orang tua lazim memilihkan baju longgar agar bisa dikenakan lebih lama, mengingat pertumbuhan anak-anak.

Pakaian baru tersebut tidak langsung dipakai, melainkan disimpan rapi di lemari dan baru dikenakan saat hari Lebaran tiba.

Suasana Lebaran Betawi semakin meriah dengan kehadiran hidangan khas seperti ketupat, sayur sambal godok, semur daging, dan opor ayam turut meramaikan suasana.

Dahulu, hidangan-hidangan lezat ini diantarkan melalui tradisi “rantangan,” sebuah simbol kuat dari persaudaraan, kasih sayang, hormat, dan terima kasih.

“Tukar Rantang,” sebuah ciri khas Lebaran Betawi, kini mengalami transformasi. Jika dahulu “rantang” berisi masakan rumahan yang kaya cita rasa, kini isinya lebih sering berupa kue-kue kering dan buah-buahan kemasan dari supermarket.

Perubahan ini mencerminkan adaptasi terhadap gaya hidup modern. Namun, esensi dari “Budaya Tukar Rantang” terletak pada maknanya, bukan pada bentuk atau isinya. Semangat berbagi, mempererat silaturahmi, dan menghormati sesama, itulah yang seharusnya tetap dipertahankan.

Tradisi Andilan

Agenda penting lainnya dalam menyambut perayaan Idul Fitri adalah tradisi “Andilan”. Tradisi gotong royong membeli kerbau untuk dipotong menjelang Lebaran ini sudah lama ada di kalangan masyarakat Betawi.

Peserta “Andilan” tidak dibatasi, iuran bisa mingguan atau bulanan, dan biasanya ada seorang yang dituakan untuk mengurusnya. Tradisi ini bukan hanya sekadar berkurban, tetapi juga mempererat silaturahmi warga Betawi.

Tradisi “Andilan” menunjukkan rasa syukur dan mempererat kebersamaan. Daging kerbau dibagikan kepada masyarakat sekitar. Namun, tradisi ini semakin luntur karena urbanisasi dan perubahan gaya hidup. Penting untuk melestarikan tradisi ini agar nilai-nilai luhurnya tetap terjaga.

Ziarah kubur ke makam keluarga atau leluhur menjadi agenda penting lainnya, terutama menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri.

Ridwan Saidi dalam bukunya ‘Profil Orang Betawi’ menjelaskan bahwa ziarah kubur sendiri memang sudah melekat pada masyarakat Betawi yang dikenal sebagai masyarakat Islam tradisional. Ziarah kubur dilakukan rutin setiap tahun pada saat menjelang Ramadan dan bulan Syawal (Idul Fitri).

Kegiatan ini bertujuan mendoakan dan mengenang orang-orang yang telah meninggal dunia. Dalam pandangan Muhammadiyah, ziarah kubur diperbolehkan dengan tujuan untuk mengingat kematian dan mengambil pelajaran, serta mendoakan ahli kubur. Namun, Muhammadiyah menekankan agar ziarah kubur tidak disertai dengan perbuatan syirik, bid’ah, atau khurafat, seperti mengkultuskan makam.

Tradisi Silaturahmi

Lebaran bagi orang Betawi memiliki makna mendalam, yakni pengingat bagi kaum muda untuk menghargai kaum tua. Tradisi silaturahmi saat Lebaran diwujudkan dengan membawa “anteran” atau hantaran.

Ketika berkunjung, seorang anak kepada orang tua atau yang muda kepada yang lebih tua, akan membawa “anteran” atau “gegawan.” Hantaran tersebut berisi makanan khas seperti dodol, geplak, wajik, semur daging, dan lain-lain. Seiring perkembangan zaman, bentuk hantaran kini beragam, termasuk parsel, namun esensinya tetap sama: menghormati orang tua atau yang dituakan.

Lebaran bagi orang Betawi bukan sekadar merayakan hari raya, tetapi mempertahankan identitas di tengah perubahan zaman.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Betawi adalah ancaman ‘Mati Obor’, sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ketika generasi muda tidak lagi mengenal silsilah keluarga mereka.

Kondisi ini mengancam kelanjutan tradisi silaturahmi yang telah diwariskan oleh leluhur. Untuk mencegah hal ini, orang tua Betawi secara aktif mengajak anak-anak mereka berkeliling dan berkunjung ke rumah sanak saudara, terutama saat hari raya Idul Fitri.

Tradisi ini bertujuan untuk memperkenalkan anggota keluarga, baik yang dekat maupun yang jauh, sejak usia dini. Dengan demikian, generasi muda diharapkan dapat terus menjaga tali persaudaraan dan menghindari ‘Mati Obor’, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam mengenali hubungan kekerabatan di masa depan.

Anak Betawi pergi ke kota,
Beli dodol buat lebaran,
Jangan lupa pada leluhur kita,
Agar tradisi tak lekang zaman

Selamat lebaran yee….!

Ratusan Jamaah Laksanakan Salat Idulfitri 1446 H di Halaman Kantor BSIP Jateng

SEMARANG, JAKARTAMU.COM | Sebanyak 400 jamaah memadati halaman Kantor Balai Standardisasi Instrumen Pertanian (BPSIP) Jawa Tengah di...

More Articles Like This