KEHILANGAN pasangan hidup secara mendadak adalah ujian besar yang bisa mengguncang kehidupan seseorang secara fisik maupun psikis. Bagi banyak orang, kehilangan tersebut menghadirkan keterpurukan yang dalam, membuat mereka sulit kembali menjalani aktivitas seperti biasa.
Rasa kesepian yang muncul setelah kepergian pasangan bisa berubah menjadi kesedihan yang berlarut-larut. Bila dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi stres berat hingga depresi. Bahkan, dalam situasi tertentu, bisa menimbulkan kecenderungan untuk mengakhiri hidup.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Public Health menunjukkan bahwa seseorang yang kehilangan pasangan karena meninggal dunia memiliki risiko 60% lebih tinggi untuk ikut meninggal dalam waktu tiga bulan setelahnya. Artinya, dampak psikologis dari kehilangan pasangan bisa sedemikian hebatnya.
Tim peneliti dari Rochester Institute of Technology di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa istri atau perempuan memiliki daya tahan mental yang lebih kuat dibanding suami. Hal ini karena dalam keseharian, perempuan cenderung lebih mandiri dan memiliki kesiapan emosional yang lebih tinggi.
Kehilangan sosok istri yang selama ini berperan sebagai ‘perawat’ utama dan pemberi perhatian ekstra kepada suami bisa meninggalkan luka psikologis yang dalam. Tak hanya batin, kondisi fisik pun bisa ikut menurun. Bahkan, menurut temuan yang sama, risiko kematian pria meningkat signifikan setelah ditinggal wafat oleh istrinya. Sebaliknya, wanita yang kehilangan suami tidak menunjukkan peningkatan risiko kematian yang sebanding.
Jika hal ini menimpa orang tua kita—terutama ayah—maka sebagai anak, kita perlu merenung: apa yang seharusnya kita lakukan?
Dalam sebuah kajian, Dr. Imron Baehaqi, Lc., MA, dosen AIKA Universitas Prof. Dr. Hamka dan alumnus Tripoli, Libya, membagikan pengalamannya saat menghadapi situasi serupa. Ia bersama saudara-saudaranya sepakat untuk menikahkan kembali ayah mereka setelah ibunya wafat.
“Setelah ibu kami meninggal, ayah kami tidak ada yang merawat dan menemani di kampung halaman. Akhirnya kami sepakat menyetujui ayah kami menikah lagi sebagai bentuk bakti kami dan tanggung jawab kepada orang tua,” tutur Imron Baehaqi.
Langkah ini menunjukkan bahwa mendukung orang tua untuk menikah lagi bukanlah bentuk pengabaian terhadap kenangan almarhum atau almarhumah. Justru, ini adalah wujud kasih sayang dan kepedulian yang nyata. Memberikan kesempatan kepada orang tua untuk kembali memiliki pendamping adalah bentuk ikhtiar kita agar mereka tetap sehat lahir dan batin di usia senja.
Secara definisi, remarriage atau pernikahan kembali adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang setelah ia berpisah dari pasangan sebelumnya, baik karena perceraian maupun kematian. Dalam konteks ini, yang dibahas adalah mereka yang ditinggal wafat oleh pasangannya.
Keputusan untuk menikah lagi setelah pasangan meninggal sangat wajar, terutama jika dilihat dari berbagai tantangan yang muncul. Sebut saja kesulitan mengurus anak, masalah ekonomi, hingga rasa kesepian yang mendalam. Sebab pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak bisa hidup sendiri. Salah satu bentuk kehidupan bersama yang paling mendasar adalah keluarga—yang idealnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Tanpa pasangan hidup, dinamika keluarga menjadi timpang. Anak-anak yang tumbuh dewasa pada akhirnya akan membentuk keluarga sendiri dan meninggalkan rumah, membuat orang tua yang ditinggal kembali terpapar kesepian.
Dalam hukum di Indonesia, tidak ada larangan bagi duda atau janda untuk menikah kembali, bahkan tanpa persetujuan anak-anaknya. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan adanya kewajiban meminta izin anak dalam urusan pernikahan kembali. Artinya, secara hukum, orang tua sepenuhnya berhak menentukan pilihan hidupnya, termasuk soal jodoh.
Namun lebih dari sekadar legalitas, mendukung atau merestui keputusan orang tua untuk menikah lagi sejatinya adalah bentuk bakti. Dalam Islam, berbakti kepada orang tua adalah perintah utama yang disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(QS. Al-Isra: 23)
“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”
(QS. An-Nisa: 36)