PERDAGANGAN adalah dunia yang sangat melekat dengan Nabi Muhammad SAW. Sehari-hari, Nabi dikelilingi para saudagar. Mereka tidak hanya sukses secara finansial, tetapi juga memiliki kontribusi besar dalam membangun Islam.
Sebut saja Siti Khadijah, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Seperti juga kita pahami bersama, dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Nabi, tujuh di antara mereka adalah saudagar.
Hal ini menunjukkan bahwa semangat dagang telah menjadi bagian penting dalam perkembangan Islam sejak awal. Semangat untuk membangun ekonomi, sekaligus menggerakkan dakwah dan persaudaraan.
Baca juga: Kisah Sufi: Saudagar dan Darwis Kristen
Dari Saudagar ke Pamong Praja
Semangat yang sama tercermin dalam perjalanan Muhammadiyah. Sejak berdirinya, Muhammadiyah banyak digerakkan para saudagar. Etos saudagar Muhammadiyah inilah salah satu elemen penting dalam perjuangan persyarikatan ini.
Pada masa-masa awal, Muhammadiyah dihormati karena kekuatan ekonomi para anggotanya. Saudagar-saudagar Muhammadiyah di Sumatera Barat, Bugis-Makassar, Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya, dan Garut menjadi motor penggerak yang kuat. Melalui bisnis mereka, persyarikatan ini berkembang pesat dan memberikan manfaat besar bagi umat.
Tetapi dalam empat dekade terakhir, peran saudagar dalam Muhammadiyah meredup. Ini bisa dilihat dari struktur kepengurusan organisasi mulai Pimpinan Pusat hingga tingkat ranting. Kini pimpinan persyarikatan lebih didominasi pamong praja. Sulit menemukan figur saudagar yang menonjol seperti pada masa lalu.
Alhamdulillah, sejak beberapa waktu belakangan muncul Serikat Usaha Muhammadiyah (Sumu), sebuah komunitas inklusif, sebagai inisiatif untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Sumu bertujuan untuk memajukan bisnis anggota Muhammadiyah melalui kolaborasi, mentoring, serta akses ke jaringan dan modal.
Sumu juga mengajak para anggotanya untuk mendukung sesama saudagar Muhammadiyah, misalnya dengan membeli dagangan teman atau kerabat sendiri. Bayangkan jika setiap toko, warung, atau usaha warga Muhammadiyah memiliki identitas seperti stiker.
Identitas ini tidak hanya menjadi tanda halal dan kualitas produk, tetapi juga mempererat hubungan antaranggota Muhammadiyah dan umat Islam lainnya. Dengan cara ini para konsumen bisa merasa lebih percaya, bahwa transaksi yang dilakukan sesuai syariat. Untungnya pun akan disalurkan untuk kebaikan seperti zakat, infaq, atau sedekah melalui Lazismu.
Baca juga: Abubakar Berharap Lahir Saudagar Tangguh dari Muhammadiyah DKI Jakarta
Belajar dari Ajwad Resto
Ajwad Resto, sebuah restoran cita rasa Timur Tengah di Condet, Jakarta Timur, bisa menjadi contoh menarik. Restoran milik Ustaz Khalid Basalamah ini tidak hanya menyajikan makanan berkualitas, tetapi juga menawarkan nuansa Islami yang kuat.
Tidak ada siaran musik, hanya lantunan merdu murottal Al-Qur’an. Setiap 15 menit, ada ajakan untuk berzakat dan berinfaq. Restoran ini bahkan berhenti melayani pesanan saat waktu salat tiba, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk salat berjemaah.
Selain itu, Ajwad Resto juga menyediakan toko perlengkapan haji dan oleh-oleh khas Timur Tengah. Di pintu keluar, pelanggan diberi brosur agen travel haji yang juga dikelola oleh Ustadz Khalid. Konsep seperti ini memberikan inspirasi besar bagi pengusaha Muhammadiyah untuk menggabungkan bisnis dengan nilai-nilai Islam.
Di masa depan, Muhammadiyah berpeluang besar menghidupkan kembali etos saudagar yang pernah menjadi ciri khasnya. Kemunculan Sumu dan model usaha seperti Ajwad Resto, dapat menjadi menginspirasi pengembangan bisnis yang tidak hanya sukses secara materi, tetapi juga membawa berkah. (*)