PENENTUAN awal bulan Hijriah merupakan aspek krusial dalam praktik keagamaan umat Islam, terutama terkait ibadah seperti puasa Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Di Indonesia, metode hisab—perhitungan astronomis untuk menentukan posisi bulan—telah menjadi salah satu pendekatan utama dalam menetapkan awal bulan Hijriah. Artikel ini akan membahas metode hisab yang digunakan oleh para ilmuwan, pandangan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, serta kontribusinya sebagai kekayaan intelektual dalam tradisi Islam di Indonesia.
Metode Hisab dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah
Hisab adalah metode penentuan awal bulan Hijriah dengan menggunakan perhitungan matematis dan astronomis untuk memprediksi posisi bulan. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, hisab memungkinkan penentuan awal bulan secara lebih akurat tanpa harus melakukan pengamatan langsung terhadap hilal (bulan sabit pertama). Metode ini melibatkan perhitungan posisi matahari dan bulan relatif terhadap bumi untuk menentukan waktu terjadinya konjungsi (ijtima’) dan kemungkinan visibilitas hilal.
Di Indonesia, terdapat beberapa kriteria hisab yang digunakan untuk menetapkan awal bulan Hijriah, antara lain:
- Ijtimak Qablal Ghurub (IQG): Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan dimulai jika ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam. Artinya, jika konjungsi bulan dan matahari terjadi sebelum maghrib, maka malam itu dianggap sebagai awal bulan baru.
- Wujudul Hilal: Kriteria ini menetapkan bahwa awal bulan dimulai jika pada saat matahari terbenam, bulan berada di atas ufuk, meskipun hilal belum tentu dapat terlihat. Metode ini digunakan oleh ormas seperti Muhammadiyah.
- Imkanur Rukyat: Kriteria ini mempertimbangkan kemungkinan visibilitas hilal. Awal bulan ditetapkan jika hilal diperkirakan dapat dilihat berdasarkan perhitungan tertentu, seperti ketinggian minimal hilal di atas ufuk dan elongasi bulan-matahari. Pemerintah Indonesia menggunakan kriteria ini sebagai standar dalam penentuan awal bulan Hijriah.
Pandangan Ormas Islam terhadap Metode Hisab
Di Indonesia, terdapat beberapa ormas Islam yang memiliki pandangan berbeda terkait metode hisab dalam penentuan awal bulan Hijriah:
Muhammadiyah: Ormas ini menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal. Mereka berpendapat bahwa jika hilal sudah wujud di atas ufuk setelah matahari terbenam, maka malam itu adalah awal bulan baru, tanpa memerlukan rukyat (pengamatan) langsung. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa dengan kemajuan ilmu astronomi, hisab dapat memberikan kepastian dalam penentuan awal bulan.
Nahdlatul Ulama (NU): NU menekankan pentingnya rukyat dalam penentuan awal bulan. Namun, mereka juga menggunakan hisab sebagai alat bantu untuk mendukung pelaksanaan rukyat. NU berpegang pada prinsip bahwa penetapan awal bulan harus berdasarkan pengamatan hilal, dan hisab digunakan untuk memperkirakan kemungkinan visibilitas hilal.
Pemerintah Indonesia: Melalui Kementerian Agama, pemerintah menggunakan kriteria imkanur rukyat dalam menetapkan awal bulan Hijriah. Kriteria ini merupakan kompromi antara hisab dan rukyat, dengan mempertimbangkan kemungkinan visibilitas hilal berdasarkan perhitungan astronomis. Pemerintah juga mengadopsi kriteria Neo-MABIMS, yang merupakan hasil kesepakatan negara-negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk menyatukan kriteria penentuan awal bulan Hijriah.
Hisab sebagai Kekayaan Intelektual dalam Tradisi Islam Indonesia
Penggunaan metode hisab dalam penentuan awal bulan Hijriah mencerminkan kekayaan intelektual dan dinamika pemikiran dalam tradisi Islam Indonesia. Integrasi antara ilmu pengetahuan modern dan praktik keagamaan menunjukkan adaptasi umat Islam terhadap perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariah.
Perbedaan pendekatan antara ormas Islam dan pemerintah dalam menggunakan hisab dan rukyat seharusnya dipandang sebagai kekayaan intelektual yang memperkaya khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Dialog dan kerjasama antara berbagai pihak diharapkan dapat menghasilkan kesepahaman yang lebih baik dalam penentuan awal bulan Hijriah, sehingga tercipta kesatuan umat dalam menjalankan ibadah.
Dengan demikian, metode hisab tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menentukan awal bulan, tetapi juga sebagai simbol dari kemampuan umat Islam Indonesia dalam mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama, serta sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang patut diapresiasi dan dikembangkan.
Dwi Taufan Hidayat, Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang