MILAD Muhammadiyah tahun ini mengusung tema ”Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”, sebuah tema yang maknanya cukup dalam. Perayaannya pun meriah dalam beragam bentuk kegiatan dan acara di seluruh Indonesia.
Beberapa foto di akun media sosial, misalnya Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-DKI Jakarta yang menaungi beberapa amal usaha, cukup memperlihatkan meriahnya acara Milad ke-112 ini .
Mungkin ada yang berpikir bahwa kemeriahan itu wujud kemakmuran yang menjadi tema milad. Salah satu dari definisi kemakmuran adalah suatu keadaan yang berkembang, berkemajuan, memiliki keberuntungan baik dan/atau memiliki status sosial yang sukses. Kemakmuran kerap mengacu pada cakupan kekayaan tetapi juga meliputi faktor-faktor lain yang mungkin saja terpisah dari kekayaan pada berbagai tingkat, misalnya kebahagiaan dan kesehatan.
Tetapi ketika mampu mengadakan acara milad dengan cukup meriah, pimpinan persyarikatan di level cabang atau daerah bisa dikatakan sudah makmur?
Jawabannya, mungkin sebagian besar acara-acara tersebut sudah merefleksikan wajah kemakmuran. Namun ketika ada pertanyaan, sudahkan kemakmuran tersebut untuk semua? Jawabannya mungkin pahit.
Boleh jadi persyarikatan makmur. Namun hampir dapat dipastikan para pendukung operasional organisasi seperti karyawan, pegawai, dan guru, sepertinya jauh dari kata makmur. Singkat kata itu hanya acara pamer kemewahan di media sosialalias flexing kemakmuran.
Teringat sebuah perbincangan di ruang rapat Majelis Dikdasmen Kantor PP Muhammadiyah Jakarta mengenai sekolah unggul. Dalam perbincanan selepas salat Jumat itu terungkap fakta bahwa banyak sekolah yang masuk kategori unggul (gedungnya megah, uang SPP-nya tinggi, fasilitasnya lebih dari cukup) ternyata dibangun dari utang.
Kemakmuran hanya milik sekolah. Guru dan karyawannya tidak kecipratan kemakmuran, honor mereka di bawah upah minimum. Mereka bekerja tanpa jaminan kesehatan, apalagi jaminan hari tua. Malah ada seorang guru tetap sekolah Muhammadiyah di DKI Jakarta ini bisa diberhentikan dengan mudahnya, tanpa mengikuti prosedur yang berlaku.
Sebuah diskusi yang diselenggarakan RS Islam Pondok Kopi Jakarta Timur sekitar tahun 2012 silam, mengundang PCM dan PRM serta AUM se-Jakarta Timur. Sebagai narasumner, hadir salah satu anggota pleno PWM DKI Jakarta .
Masih segar dalam ingatan, dalam pemaparannya anggota pleno PWM tersebut menyampaikan otokritik. Menurut dia, Pimpinan Persyarikatan tidak boleh lihat dana besar di rekening. Begitu ada dana, maunya langsung bangun ini bangun itu, beli tanah di sini dan di situ. Jarang yang berpikir untuk memakmurkan guru dan karyawannya.
Pemimpin itu cermin dari rakyatnya. Jika rakyat sukanya flexing kemakmuran, maka jangan heran jika pemimpinnya berbuat hal yang sama. (*)