PUNCAK kejayaan Turki Utsmani ada pada tiga orang sultan, salah satunya adalah Sultan Muhammad II (1451-1484 M) bergelar “Al-Fatih Sang Penakluk”. Pada masanya, Al-Fatih dapat mengalahkan Byzantium dan menaklukkan Kontantinopel yang sudah direncanakan dulu oleh Sultan Bayazid.
Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag dalam bukunya berjudul “Sejarah Peradaban Islam” (Yayasan Pusaka Riau, 2013) menuturkan kekuasaan Daulah Utsmani yang sedemikian luas di Asia Kecil dan Eropa Timur tidak dapat kokoh sebelum Konstantinopel ditaklukkan.
Oleh sebab itu, menaklukkan Konstantinopel suatu keniscayaan yang tidak dapat di tawar-tawar, karena urusan hidup matinya Daulah Turki Utsmani terletak pada keberhasilan mereka menaklukkan Konstantinopel.
Semangat untuk menaklukkan Konstantinopel dikobarkan terus secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, karena mereka mengingat akan takbir yang diucapkan Nabi Muhammad SAW ketika cahaya memancar dari linggisnya ketika kena batu sewaktu menggali parit dalam perang Khandak.
Hal itu menjadi satu keyakinan yang kuat bagi mereka bahwa Konstantinopel pada suatu ketika kelak pasti akan dapat ditaklukkan.
Maka, berdasarkan keyakinan tersebut, menaklukkan Konstantinopel bukan saja menyangkut urusan negara tetapi juga menyangkut jihat yang kelak akan mendapat bantuan dari Allah SWT, dan mereka pun rela mati untuk perang tersebut.
Usaha menaklukkan Konstantinopel sudah dimulai sejak Muawiyah I berkuasa. Dia mengerahkan angkatan laut di bawah pimpinan putranya Yazid merebut kota itu (668- 669) tetapi usahanya gagal karena pertahanan kota yang kokoh dan mereka dari pihak musuh sudah menggunakan meriam Yunani.
Taktik yang dilakukan Muhammad II dalam menaklukkan Konstantinopel berbeda dengan yang dilakukan Sultan-sultan sebelumnya.
Jauh hari sebelum melakukan penaklukkan, Sultan Muhammad II terlebih dahulu membangun sebuah benteng yang tinggi yang diberi nama Runli Hisar. Benteng ini berada di seberang selat Borporus, dekat konstatinopel.
Kaisar Yunani mengirimkan utusan untuk menyampaikan protes kepada Sultan Muhammad II. Tetapi Sultan Muhammad II mengancam Kaisar dengan hukuman mati, sehingga Kaisar Yunani tidak berhasil menghentikan pembangunan benteng tersebut.
Fungsi benteng ini adalah sebagai tempat mengumpulkan persediaan perang untuk menyerang Konstantinopel. Pembangunan benteng tersebut memakan waktu selama tiga bulan.
Nilai strategis dari pembangunan benteng itu sangat tinggi sebab dengan di bangunnya benteng tersebut, Konstantinopel tidak mungkin lagi mendapat bantuan, baik peralatan perang, persediaan senjata, maupun bahan logistik lainnya dari Laut Hitam.
Pembangunan benteng itu sudah diperhitungkan secara matang dan terencana karena pengepungan Konstantinopel akan menyedot tenaga yang besar, rencana yang matang, persenjataan yang lengkap dan tidak boleh gegabah.
Untuk itu sebelum penyerangan dilakukan, Sultan bersama-sama dengan para pengiringnya mengelilingi parit pertahanan Konstantinopel untuk menganalisa segi kekuatan dan segi kelemahan lawan untuk mencarikan cara yang tepat mengatasinya.
Pada sisi lain, Kaisar untuk kedua kalinya berusaha untuk membujuk Sultan agar dapat mengurungkan niatnya menyerang Konstantinopel, tetapi Sultan menjawab; “Kalau Kaisar tidak suka berperang lebih baik menyerahkan Konstantinopel saja”.
Jika Kaisar mau menyerahkan Konstantinopel, maka Sultan akan menjamin keselamatannya. Akan tetapi tawaran tersebut tidak dapat diterima Kaisar. Kemudian Kaisar mencari jalan lain yaitu berusaha untuk meminta bantuan kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa dan permintaan yang sama juga disampaikan kepada Paus di Roma Italia agar dapat membantu Kaisar menyerang Sultan. Akan tetapi bantuan yang diharapkan tersebut tidak kunjung datang.
Adapun yang menjadi penyebab tidak datangnya bantuan kepada Kaisar karena sebagian dari kerajaan-kerajaan Eropa itu sudah terlanjur menandatangani perjanjian dengan Sultan agar tidak saling menyerang.
Sementara dari Roma tidak datang bantuan karena terdapat masalah mendasar mengenai paham keagamaan antara Roma Katolik di bawah pimpinan Paus yang berpusat di Roma dengan paham Ortodok yang berpusat di Konstantinopel sendiri yang mengakibatkan tidak akan mungkin lagi menyatukan kedua gereja tersebut.
Hal inilah yang membuat Paus di Roma tidak merasa terpanggil membantu Konstantinopel.
Sultan Muhammad II melakukan penyerangan ke Konstantinopel melalui Selat Borporus, sementara Selat itu dipagari dengan rantai-rantai dan ranjau oleh pihak Kaisar, sehingga tidak bisa dilalui oleh kapal-kapal.
Oleh karena itu, Sultan memerintahkan pemindahan kapal-kapal melalui daratan. Langkah yang ditempuh Sultan tampaknya sebagai taktik yang bersifat terror mental karena setelah siang hari penduduk Konstantinopel dapat melihat musuh dari atas bentengnya bahwa ranjau mereka dapat dilewati tentara Islam.
Akhirnya pada tanggal 29 Mei 1453 M, di Subuh hari penyerbuan terakhir dilakukan. Meriam berhasil membobol dinding tembok sehingga mereka dapat masuk menyerbu ke dalam. Kaisar terbunuh, konstantinopel jatuh, tentara Islam menang.
Dengan jatuhnya Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Byzantium, maka akan lebih mudahlah arus ekspansi Daulah Turki Usmani ke Benua Eropa.
Maka berakhirlah penyerbuan yang sangat dramatis dan mendebarkan tersebut sehingga Sultan Muhammad II berharak mendapat gelar “al-Fatih” artinya Sang Penakluk.
Adapun yang menjadi faktor keberhasilan Sultan Muhammad I menaklukkan Konstantinopel ditentukan oleh perencanaan yang matang, strategis yang jitu, penuh perhitungan dan yang tidak kalah pentingnya karena dia membangun benteng pertahanan di dekatnya sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan persenjataan. Dengan cara itu tidak akan terjadi kelangkaan peralatan dan perbekalan.
Kemudian secara eksternal Kaisar Romawi tidak mendapat dukungan lagi dari raja-raja Eropa dan Paus yang berkedudukan di Roma dalam melawan Sultan Muhammad Al-Fatih, sehingga faktor ini menjadi kunci keberhasilan Sultan Muhammad II melawan kaisar.
Tindakan strategis yang dilakukan Sultan Muhammad II setelah menaklukkan Konstantinopel adalah memindahkan pusat pemerintahan atau ibu kota Daulah Turki Utsmani dari Adrianopel ke konstinopel setelah mengadakan perbaikan-perbaikan yang rusak akibat perang.
Perpindahan pusat kekuasaan kali ini merupakan yang ketiga kali dalam sejarah Daulah Turki Utsmani.
Masa Sultan Utsman I berada di Asia Kecil pindah ke Broessa pada masa Sultan Orkhan, kemudian pindah ke Adrianopel pada masa Sultan Murad I dan sekarang pindah ke Konstantinopel pada masa Muhammad Al-Fatih ini.
Kota ini letaknya strategis dan kelak berganti nama dengan Istambul.
Dari pusat kekuasaan Turki Utsmani ini, Sultan Muhammad II mengatur rencana besarnya menaklukkan Eropa. Maka pada tahun 1458-1460 M dia menaklukkan kerajaan Serbia, Bosnia dan Morea untuk kedua kalinya dan kali ini mereka diwajibkan Sultan membayar upeti kepada Daulah Turki Utsmani.
Jika selama ini perhatian Sultan-Sultan hanya tertuju pada bidang keamanan dan ekspansi wilayah saja, maka pada masa Muhammad II ini mulai ada perhatian pada bidang lain, yaitu Gereja Aya Sofia dimodifikasi dan disulap menjadi Masjid.
Kemudian sebuah Masjid baru yang lain dibangunnya pula, namanya “Masjid Jami’ Muhammad Al-Fatih” atas bantuan seorang arsitektur Yunani yang bernama Christodulos.
Dia juga membangun sekolah-sekolah, pemandian, dapur umum, rumah sakit dan panti-panti sosial.
Selain itu, dia juga membangun sebuah masjid di dekat makam Abu Ayyub Al-Anshari yang gugur dalam penyerangan pertama ke Konstantinopel pada tahun 678 M.
Akhirnya, dalam usia 51 tahun Muhammad Al-Fatih pun meninggal dunia dan dia dimakamkan di dekat masjid megah yang dibangunnya di Konstantinopel atau Istambul, dia digantikan oleh anaknya Sultan Salim I (1512-1520 M).