FAKTA pendidikan berkaitan dengan efisiensi anggaran belanja negara yang disampaikan Menteri Agama Nasaruddin Umar di depan DPR RI belum lama ini memang benar adanya. Menteri yang cerdas dan santun ini trenyuh sepenuh hati, prihatin atas situasi dan kondisi madrasah di beberapa wilayah di Tanah Air, khususnya madrasah yang diselenggarakan Perguruan Islam.
Namun alhamdulillah, madrasah-madrasah tetap bertumbuh meskipun sedikit dibantu negara (guru dan beberapa prasarana dan sarana pendidikan). Namun madrasah-madrasah itu tetap mandiri dan terus berkembang berkat sokongan keswadayaan organisasinya.
Madrasah (MI, MTS, MA dan Kuliyatul Mu’alimin yang bernaung di bawah Kemenag, model pondok pesantren, atau bukan) maupun sekolah umum di bawah Kemendiknasmen, ribuan sekolah di bawah asuhan Muhammadiyah, NU, Persis, Al Azhar dan lainnya, terus berkembang diminati masyarakat, khusus umat Islam. Bahkan di Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, sekolah-sekolah Muhammadiyah dari SD sampai perguruan tinggi juga diminati saudara nonmuslim.
Sekolah-sekolah tersebut memang dibantu, baik dari pengajar dan fasilitas lain. Tetapi bantuan tersebut tak sebanding dengan kebutuhan. Bahkan di masa colonial, selain yang dikelola Taman Siswa, sekolah Muhammadiyah dan Organisasi Islam lain hanya dibantu amat sangat sedikit ketimbang sekolah yang diselenggarakan Lembaga Missi dan Zending (Kristen dan Katolik).
Apalagi madrasah dan pondok pesantren, tak dianggap sama sekali keberadaannya. Namun toh sampai hari ini sekolah, madrasah dan pondok pesantren itu tetap eksis. Semangat dan keyakinan mengalahkan kepentingan material belaka.
Namun sekali lagi, bahwa umat Islam, khususnya Muhammadiyah, sangat meyakini bahwa menuntut ilmu itu bagian dari jihad fisabilillah. Itulah kewajiban bagi setiap manusia yang meyakini keterpaduan iman, ilmu dan amal dalam satu tarikan nafas dan juang.
Keprihatinan Prof Nasaruddin di depan DPR perihal menghadapi penciutan anggaran patut diapresiasi. Kendati demikian, masyarakat sebagai salah satu pilar penyelenggaraan pendidikan janganlah tinggal diam dan hanya menyerahkan kepada negara, yang entah kenapa APBN-nya jadi kedodoran.
Muhammadiyah sejak pra-kemerdekaan sampai kini tetap percaya bahwa takdir kemajuan bangsa haruslah dijemput dengan bersatu dalam pikiran dan perbuatan melalui pergerakan berbasis jamaah dalam tindakan jami’iyah. Dalam usianya yang 112 tahun, Muhammadiyah bukannya mundur, tetapi justru kian maju.
Merajut persatuan dalam kerangka berfastabikhul khairat dengan beberapa organisasi pendidikan Kristen/Katholik, Sekolah Internasional dan Perguruan China, Taman Siswa, juga organisasi konfederasi semisal NU dengan ribuan pondok pesantrennya, Muhammadiyah terus memperbaiki manajemen amal usaha pendidikan.
Hal ini juga diperkuat dengan pengajarannya suri tauladan para tokohnya. Insyaallah Muhammadiyah tidak akan gentar terhadap minimnya intensitas kehadiran negara untuk menggapai salah satu tujuan bernegara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah tujuan yang menyokong upaya mempertahankan dan melindungi negara, mencapai ketertiban dunia berdasarkan kemanusiaan dan keadilan serta kemakmuran bagi seluruh bangsa. (*)