Oleh Lambang Saribuana | Ketua Lazismu DKI Jakarta
SIAPA yang meragukan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang besar dan kaya? Rasanya-rasanya hampir tidak ada. Dari pejabat sampai pengamat sepakat akan hal itu. Belum ada sejarahnya ada organisasi massa (ormas) yang menyamai Muhammadiyah di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.
Mereka mengukur dengan cara sederhana, yaitu wujud nyata amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, maupun sosial. Ratusan sekolah, kampus, rumah sakit dan klinik sampai panti asuhan Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia. Seluruh amal usaha itu merupakan aset yang memiliki valuasi sangat-sangat tinggi.
Publik heboh ketika Muhammadiyah menarik dana di Bank Syariah Indonesia (BSI) yang konon mencapai Rp13 triliun. Deretan angka dalam rekening itulah salah satu alasan kenapa Muhammadiyah dicap kaya.
Kendati tidak ada konfirmasi resmi dari Persyarikatan, angka itu menunjukkan ”kelas” yang disematkan masyarakat kepada Muhammadiyah. Kalau memang demikian adanya, tentu saja Muhammadiyah tidak akan punya masalah dengan pendanaan bukan?
Baca juga: Membangun Amal Usaha Baru melalui Program Makan Bergizi Gratis
Tetapi tidak begitu yang terjadi dalam praktik di lapangan. Ketua Majelis Diktilitbang Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Bambang Setiaji, M.Si mengungkapkan paradoks tersebut. (Jakartamu.com: Muhammadiyah Kaya tapi Tak Punya Uang dan Tetap Minoritas, Sabtu, 21 Desember 2024)
Muhammadiyah terlanjur memperoleh predikat kaya raya. Akan tetapi pengurus pusat pun ternyata kesulitan untuk membiayai seluruh kegiatan. Itu terjadi karena dana Muhammadiyah tidak terpusat, melainkan tersebar di berbagai amal usaha. Istilah teman-teman di akar rumput adalah, “Uang banyak, tetapi di saku yang berbeda”.
Indikasinya cukup mudah dilihat di lapangan. Ada beberapa kampus Muhammadiyah yang megah di satu sisi dan di sisi lain ada yang hampir bangkrut. Ada rumah sakit yang sangat sehat dalam mengelola keuangan, tetapi ada yang kesulitan cash flow. Ada sekolah yang bisa pergi umrah setiap acara kelulusan siswa, tapi banyak juga yang kesulitan membayar gaji guru. Itu semua adalah fakta lain yang tak boleh diabaikan.
Kampus A, kampus B, sekolah C dan rumah sakit D, semuanya menyimpan dana mereka di bank, baik itu bank syariah maupun bank pelat merah. Namun saat ada Amal Usaha Muhammadiyah lain membutuhkan dana untuk membangun fasilitas baru, mereka hanya bisa meminjam dana dari bank. Berikut margin (kalau tidak mau menyebut bunga) tentunya.
Fenomena tersebut saya beri analogi simplifikasi seperti ini. Seseorang ayah menyimpan uang di bank tertentu, tetapi saat istrinya membutuhkan uang belanja harus meminjam dari bank yang sama. Bahkan saat anaknya membutuhkan dana pendidikan, harus ngutang juga di bank tersebut. Semuanya tidak ada yang free. Semuanya dengan margin. Sesuatu yang sangat “konyol dan tidak masuk akal”.
Hal ini menunjukkan ada masalah mendasar, yaitu kurangnya kepercayaan antar amal usaha Muhammadiyah. Kampus A, misalnya, tidak mempercayai kampus B untuk meminjamkan dana. Begitu pula antar rumah sakit. Sementara itu bank yang notabene bukan bagian dari persyarikatan yang menjadi perantara, adalah pihak yang paling diuntungkan.
Logika sederhananya adalah seharusnya Muhammadiyah bisa mengelola dana sendiri melalui mekanisme internal. Tentu ini hal tidak mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi, inilah tantangan yang mesti dipecahkan oleh pucuk pimpinan disemua tingkatan. Yaitu pengelolaan dana secara efektif dan efisien.
Baca juga: Reposisi Zakat dan Kekuasaan Islam
Organisasi dengan aset dan harta sebesar Muhammadiyah memang sudah saatnya memiliki fund manager. Ini juga akan menjadi solusi seiring perkembangan dan pertumbuhan (pertambahan) amal usaha Muhammadiyah ke depan. Fund manager seharusnya bisa mengelola dana secara profesional, memastikan uang organisasi digunakan secara optimal, dan menghilangkan ketergantungan pada pihak ketiga seperti bank.
Fund manager akan mengalokasikan dana yang tersebar di berbagai bank sesuai kebutuhan prioritas, tanpa harus pinjam bank. Yang tidak kalah penting, fund manager dapat menjadi pihak netral yang mengelola dana dari berbagai amal usaha, sehingga tidak ada saling curiga. Fund manager juga bisa membantu menciptakan sistem transparansi, di mana setiap anggota Muhammadiyah tahu ke mana dananya dialokasikan.
Salah satu contoh sukses penerapan fund manager adalah apa yang diterapkan oleh Harvard University melalui Harvard Management Company (HMC) yang mengelola dana abadi (endowment fund) miliaran dolar. Dana tersebut diinvestasikan dalam berbagai aset, seperti properti, saham, dan obligasi. Hasil investasi digunakan untuk mendanai kegiatan akademik, penelitian, dan beasiswa.
HMC ini adalah contoh yang menunjukkan bahwa pengelolaan dana oleh fund manager yang profesional dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan sekaligus menjaga keberlanjutan lembaga.
Adalah penting bagi warga Muhammadiyah untuk mulai mengubah mindset soal pengelolaan dana. Persyarikatan memiliki potensi besar untuk mengelola dananya sendiri tanpa bergantung pada Lembaga keuangan lain.
Fund manager adalah solusi yang dapat menjembatani kebutuhan pendanaan internal sekaligus membangun kepercayaan antar amal usaha. Muhammadiyah tidak hanya akan menjadi lebih mandiri secara finansial, tetapi juga menjadi contoh pengelolaan dana yang profesional di tingkat nasional. Saatnya Muhammadiyah berani mengambil langkah besar menuju masa depan yang berkemajuan. (*)