Oleh: Sugiyati, S.Pd
SETELAH pengakuan kedaulatan pada 1949, Indonesia memasuki masa yang penuh gejolak. Sebagai organisasi Islam yang telah berakar kuat di masyarakat, Muhammadiyah tidak hanya menghadapi tantangan dalam membangun kembali institusi pendidikan dan sosialnya yang terdampak perang, tetapi juga harus beradaptasi dengan perubahan politik yang cepat.
Pemerintahan awal Indonesia mengadopsi sistem demokrasi parlementer, di mana partai politik memainkan peran dominan dalam menentukan arah kebijakan negara. Muhammadiyah yang sejak awal berdiri bersikap netral terhadap politik praktis tetap menjunjung tinggi semangat dakwah dan pendidikan sebagai pilar utama perjuangannya. Namun, perubahan politik nasional tetap membawa dampak bagi Muhammadiyah, terutama karena eratnya hubungan organisasi ini dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Hubungan Muhammadiyah dan Masyumi
Sejak awal kemerdekaan, Muhammadiyah terlibat dalam pendirian Masyumi, partai politik yang bertujuan memperjuangkan aspirasi umat Islam dalam sistem politik nasional. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusuma dan KH Abdul Kahar Muzakir terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan partai ini.
Masyumi menjadi kekuatan besar dalam pemilu 1955, menempati posisi kedua setelah PNI (Partai Nasional Indonesia). Banyak kader Muhammadiyah yang masuk dalam struktur pemerintahan melalui partai ini, termasuk di legislatif dan eksekutif.
Namun, keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis melalui Masyumi juga membawa konsekuensi. Ketika Masyumi bersinggungan dengan kebijakan pemerintah, Muhammadiyah pun ikut terkena dampaknya, terutama setelah partai ini bersikap kritis terhadap kebijakan Presiden Soekarno yang semakin mengarah ke otoritarianisme.
Pada tahun 1960, Masyumi dibubarkan oleh Soekarno karena dianggap terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sebuah gerakan separatis yang menentang pemerintah pusat. Pembubaran Masyumi menjadi pukulan berat bagi Muhammadiyah, karena banyak tokoh dan kadernya kehilangan jalur politik yang selama ini menjadi sarana perjuangan mereka.
Kembali ke Khittah 1926
Pembubaran Masyumi menjadi titik balik bagi Muhammadiyah dalam menentukan sikapnya terhadap politik nasional. Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1968, organisasi ini secara resmi menegaskan kembali Khittah 1926, yaitu prinsip bahwa Muhammadiyah tidak akan terlibat dalam politik praktis dan akan tetap fokus pada dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial.
Keputusan ini diambil untuk menjaga independensi Muhammadiyah dari dinamika politik yang sering kali penuh intrik dan konflik kepentingan. Dengan kembali ke khittahnya, Muhammadiyah bisa lebih leluasa menjalankan program-programnya tanpa terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik.
Namun, keputusan ini bukan berarti Muhammadiyah kehilangan pengaruh dalam kehidupan politik nasional. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah tetap memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik dan memberikan masukan kepada pemerintah dalam kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan umat Islam.
Muhammadiyah dalam Masa Orde Lama
Pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia mengalami berbagai gejolak politik, termasuk naiknya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebagai organisasi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai tauhid dan moral Islam, Muhammadiyah menentang ideologi komunisme yang bertentangan dengan prinsip keimanan kepada Allah SWT.
Ketegangan antara kelompok Islam dan PKI semakin meningkat pada pertengahan 1960-an, terutama setelah PKI semakin agresif dalam menyebarkan ideologinya di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan pertanian. Muhammadiyah, bersama NU dan kelompok Islam lainnya, menjadi benteng utama dalam menghadapi pengaruh komunis.
Tragedi G30S/PKI pada 1965 menjadi titik balik dalam politik Indonesia. Setelah peristiwa ini, pemerintahan Soekarno melemah, dan pada akhirnya Orde Lama runtuh. Muhammadiyah, yang sejak awal menolak komunisme, menjadi salah satu kekuatan masyarakat yang mendukung perubahan politik menuju pemerintahan yang lebih stabil.
Muhammadiyah di Era Orde Baru
Setelah runtuhnya Orde Lama, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dan mendirikan Orde Baru dengan sistem politik yang lebih terkontrol.
Di bawah pemerintahan Soeharto, Muhammadiyah diberi ruang untuk berkembang, terutama dalam bidang pendidikan dan sosial. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tumbuh pesat, dan program sosialnya semakin diperluas.
Namun, pada saat yang sama, pemerintahan Orde Baru juga membatasi kebebasan politik, termasuk bagi organisasi Islam. Muhammadiyah tetap menjaga jarak dari politik praktis, meskipun banyak kadernya yang terlibat dalam pemerintahan melalui Golkar, partai yang didukung oleh rezim Orde Baru.
Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1971, organisasi ini kembali menegaskan bahwa dakwah, pendidikan, dan sosial adalah fokus utama perjuangannya. Namun, Muhammadiyah tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan keadilan sosial.
Muhammadiyah dan Kelahiran ICMI
Pada akhir 1980-an, muncul gagasan untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sebuah organisasi yang bertujuan memperkuat peran umat Islam dalam dunia intelektual dan politik.
Banyak tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam ICMI, termasuk Amien Rais, yang kemudian menjadi salah satu tokoh utama dalam gerakan reformasi 1998. Keterlibatan Muhammadiyah dalam ICMI menunjukkan bahwa meskipun tidak terlibat dalam politik praktis, Muhammadiyah tetap memainkan peran strategis dalam membentuk wacana keislaman dan kebangsaan.
Kesimpulan
Sejak awal kemerdekaan hingga era Orde Baru, Muhammadiyah mengalami berbagai tantangan dalam menghadapi dinamika politik nasional.
Pada masa awal kemerdekaan, Muhammadiyah berperan dalam perjuangan politik melalui Masyumi.
Setelah Masyumi dibubarkan, Muhammadiyah kembali ke Khittah 1926, menegaskan bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam politik praktis.
Pada masa Orde Lama, Muhammadiyah berjuang melawan komunisme dan menghadapi tekanan dari pemerintah.
Pada masa Orde Baru, Muhammadiyah berkembang pesat dalam bidang pendidikan dan sosial, tetapi tetap menjaga independensinya dari politik kekuasaan.
Perjalanan panjang Muhammadiyah dalam dinamika politik nasional menunjukkan bahwa organisasi ini tetap konsisten pada misinya sebagai gerakan Islam yang fokus pada dakwah, pendidikan, dan amal sosial.
Namun, bagaimana peran Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan baru di era reformasi?
(Bersambung ke episode 7: Muhammadiyah dan Reformasi 1998).