Oleh: Sugiyati, S.Pd
SEJAK berdiri pada tahun 1912, Muhammadiyah selalu berpegang pada prinsip bahwa Islam harus menjadi kekuatan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
KH. Ahmad Dahlan dan para penerusnya tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi politik, tetapi Muhammadiyah juga tidak bisa dipisahkan dari peran politik kebangsaan dalam arti yang lebih luas.
Di era pergerakan nasional, Muhammadiyah menjadi bagian dari upaya mencerdaskan bangsa, memberdayakan umat, dan melawan ketidakadilan kolonialisme. Perjuangan Muhammadiyah dalam membangun sekolah, rumah sakit, dan pusat sosial telah menjadi bagian dari fondasi kebangkitan nasional. Para tokoh Muhammadiyah banyak terlibat dalam organisasi kebangsaan, baik di dalam maupun di luar Muhammadiyah.
Saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang pertama kali menyatakan dukungan penuh terhadap Republik Indonesia. Dalam sidang-sidang penting perumusan dasar negara, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo memainkan peran kunci dalam menjaga agar nilai-nilai Islam tetap menjadi bagian dari identitas bangsa.
Muhammadiyah dan Pancasila: Sikap yang Tegas dan Jelas
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah mengalami dinamika dalam hubungannya dengan negara. Pada awal kemerdekaan, Muhammadiyah mendukung penerapan Piagam Jakarta yang memasukkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Namun, ketika Piagam Jakarta mengalami perubahan menjadi Pancasila, Muhammadiyah tetap menerima keputusan tersebut dengan prinsip “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”—menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada meraih maslahat.
Pada era 1980-an, ketika pemerintah Orde Baru mengharuskan semua organisasi menerima Pancasila sebagai asas tunggal, Muhammadiyah kembali menegaskan sikapnya bahwa Pancasila bukanlah agama, tetapi sebagai kesepakatan nasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah berhasil menjaga posisinya sebagai organisasi Islam yang tetap independen dan berperan dalam kehidupan bernegara tanpa harus terjebak dalam politik praktis.
Muhammadiyah di Era Reformasi: Antara Netralitas dan Keterlibatan Politik
Setelah reformasi 1998, banyak organisasi Islam menghadapi dilema baru: apakah akan tetap menjadi gerakan sosial atau terlibat langsung dalam politik praktis?. Beberapa tokoh Muhammadiyah memilih untuk mendirikan partai politik berbasis Islam, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh Amien Rais. Namun, Muhammadiyah secara kelembagaan tidak menjadi bagian dari partai politik mana pun.
Sikap ini didasarkan pada keyakinan bahwa Muhammadiyah harus tetap menjadi gerakan Islam yang berorientasi pada amal usaha, pendidikan, dan pemberdayaan umat, bukan sebagai kendaraan politik yang berorientasi pada perebutan kekuasaan. Dalam berbagai perhelatan politik, Muhammadiyah sering menyatakan diri sebagai “kekuatan moral bangsa” yang berfungsi sebagai pengingat dan pengontrol bagi siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan.
Namun, bukan berarti Muhammadiyah pasif dalam politik kebangsaan. Justru, Muhammadiyah sering kali menjadi kekuatan penyeimbang, baik dalam kebijakan nasional maupun dalam mengawal proses demokrasi. Misalnya, Muhammadiyah secara aktif mendorong pemilu yang adil, mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, serta menjadi pelopor dalam gerakan anti-korupsi dan reformasi birokrasi.
Peran Muhammadiyah dalam Menjaga Demokrasi dan Keutuhan Bangsa
Dalam konteks demokrasi modern, Muhammadiyah menghadapi tantangan besar, antara lain:
- Polarisasi Politik dan Umat Islam
Di era digital, umat Islam sering kali terjebak dalam polarisasi politik yang tajam, baik dalam pemilihan presiden, legislatif, maupun isu-isu kebangsaan lainnya. Muhammadiyah berusaha menjadi penengah dan menghindari politik identitas yang memecah belah umat. - Pragmatisme Politik dan Oligarki
Muhammadiyah terus mengkritik sistem politik yang semakin dikuasai oleh oligarki dan kepentingan elit tertentu, yang menyebabkan kesenjangan ekonomi semakin lebar. - Radikalisme dan Ekstremisme
Di satu sisi, Muhammadiyah menghadapi kelompok yang cenderung mengarah pada radikalisme agama, di sisi lain juga menghadapi kelompok yang mencoba menjauhkan agama dari kehidupan publik. Muhammadiyah berusaha mempertahankan Islam wasathiyah (moderat) yang menjadi jalan tengah bagi umat. - Kebijakan Publik yang Tidak Berpihak pada Rakyat
Muhammadiyah sering kali mengambil posisi kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, seperti kebijakan pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial.
Muhammadiyah dan Tantangan Politik Masa Depan
Di era globalisasi dan digitalisasi, Muhammadiyah menghadapi tantangan baru dalam dunia politik kebangsaan. Ada beberapa agenda besar yang harus terus dikawal oleh Muhammadiyah, antara lain:
- Memperkuat Peran Muhammadiyah sebagai Kekuatan Sipil
Muhammadiyah harus tetap menjadi “civil society” yang kuat, yang mampu mengawal demokrasi, menegakkan keadilan sosial, dan mengadvokasi kebijakan yang berpihak kepada rakyat. - Membangun Kader Bangsa yang Berkualitas
Muhammadiyah harus terus melahirkan kader-kader bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. - Menjaga Netralitas Muhammadiyah dalam Politik Praktis
Muhammadiyah harus terus menjaga jarak dari politik praktis, tetapi tetap aktif dalam memberikan kritik dan solusi bagi permasalahan kebangsaan. - Memanfaatkan Teknologi untuk Dakwah dan Advokasi
Muhammadiyah harus semakin aktif dalam memanfaatkan teknologi untuk memperkuat dakwah digital dan advokasi kebijakan publik yang lebih luas.
Kesimpulan
Sejak awal berdirinya hingga saat ini, Muhammadiyah tetap konsisten dalam menjaga posisi sebagai gerakan Islam yang independen, berorientasi pada dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial. Dalam konteks politik kebangsaan, Muhammadiyah tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga demokrasi, menegakkan keadilan sosial, serta mengawal kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, Muhammadiyah harus terus menjadi kekuatan moral bangsa, yang tidak hanya mengingatkan pemerintah tetapi juga memberikan solusi konkret bagi berbagai permasalahan kebangsaan. Dengan prinsip Islam Berkemajuan, Muhammadiyah diharapkan tetap menjadi pelopor dalam menciptakan Indonesia yang lebih adil, makmur, dan bermartabat.