Sabtu, April 12, 2025
No menu items!

Muhammadiyah dan Reformasi 1998: Sikapnya terhadap Soeharto

Must Read


Oleh: Sugiyati, S.Pd

MEMASUKI akhir dekade 1990-an, Indonesia dilanda krisis multidimensi yang mengguncang stabilitas nasional. Krisis moneter yang bermula di Thailand pada pertengahan 1997 segera menyebar ke berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok drastis, menyebabkan inflasi yang melambung tinggi. Dampak ekonomi yang parah ini berimbas pada ketidakstabilan sosial dan politik.

Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade mulai kehilangan legitimasi. Protes dan demonstrasi mahasiswa yang awalnya menuntut perbaikan ekonomi berkembang menjadi tuntutan reformasi total, termasuk penghapusan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam suasana penuh gejolak ini, Muhammadiyah turut memainkan peran penting dalam proses transisi menuju era reformasi.

Sikap Muhammadiyah terhadap Soeharto

Muhammadiyah selama masa Orde Baru dikenal sebagai organisasi yang tetap menjaga jarak kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Meskipun banyak kadernya yang berada di Golkar, Muhammadiyah tetap mempertahankan independensinya dan tidak mau menjadi alat kekuasaan.

Menjelang keruntuhan Soeharto, Ketua Umum Muhammadiyah saat itu, Prof. Dr. Amien Rais, tampil sebagai salah satu tokoh utama dalam gerakan reformasi. Melalui berbagai pernyataan tegasnya, ia mengkritik praktik otoritarianisme Orde Baru dan mendorong transisi menuju demokrasi.

Pada April 1998, Amien Rais bersama sejumlah tokoh reformasi seperti Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Nurcholish Madjid menyerukan perubahan besar dalam sistem pemerintahan. Muhammadiyah sebagai organisasi tidak secara langsung terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi, tetapi sikap para pemimpinnya, terutama Amien Rais, sangat mempengaruhi arah gerakan reformasi.

Puncaknya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri setelah mendapat tekanan besar dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan ulama dan organisasi masyarakat Islam. Ini menjadi momen bersejarah bagi Indonesia, menandai berakhirnya rezim Orde Baru dan dimulainya era reformasi.

Muhammadiyah dalam Masa Transisi

Setelah Soeharto lengser, Indonesia memasuki masa transisi yang penuh ketidakpastian. Berbagai partai politik baru bermunculan, dan kehidupan demokrasi mulai berkembang.

Muhammadiyah menghadapi dilema besar dalam menentukan sikapnya: apakah tetap pada Khittah 1926 sebagai organisasi non-politik atau mulai berperan lebih aktif dalam pemerintahan?

Sebagai langkah strategis, Muhammadiyah memilih tetap di jalur dakwah dan sosial. Meskipun demikian, banyak kader Muhammadiyah yang akhirnya memasuki dunia politik melalui berbagai partai, terutama Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh Amien Rais pada 23 Agustus 1998.

Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional (PAN)

Kelahiran PAN menjadi salah satu fenomena penting dalam politik pasca-reformasi. Sebagai partai yang berbasis Islam modernis, PAN menarik banyak tokoh dari Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah secara organisasi tidak menjadi bagian dari PAN.

Keputusan ini diambil untuk menjaga netralitas organisasi dan menghindari pengulangan sejarah seperti hubungan dengan Masyumi di masa lalu. Ketua Umum Muhammadiyah yang baru, Syafii Maarif, menegaskan bahwa meskipun ada kader Muhammadiyah di PAN, organisasi tetap berjarak dari politik praktis.

Peran Muhammadiyah dalam Reformasi Sosial

Selain dalam politik, Muhammadiyah berperan besar dalam reformasi sosial dan pendidikan pasca-1998. Berbagai inisiatif dilakukan untuk membangun kembali sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial yang sempat terguncang akibat krisis.

Di bidang pendidikan, Muhammadiyah memperkuat jaringan sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi, termasuk Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berkembang pesat setelah reformasi.

Di sektor kesehatan, Muhammadiyah semakin memperluas layanan rumah sakit dan klinik, seperti Rumah Sakit PKU Muhammadiyah yang menjadi salah satu jaringan layanan kesehatan terbesar di Indonesia.

Muhammadiyah juga aktif dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin melalui berbagai program pemberdayaan ekonomi berbasis Islam, seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang membantu usaha kecil dan menengah.

Muhammadiyah dalam Era Kebebasan Beragama

Pasca-reformasi, Indonesia mengalami liberalisasi politik dan kebebasan beragama yang lebih luas. Namun, ini juga membawa tantangan baru, termasuk munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam.

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat berupaya untuk menyeimbangkan antara modernisasi dan nilai-nilai Islam. Melalui konsep Islam Berkemajuan, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan inklusif, toleran, dan berbasis ilmu pengetahuan dalam menghadapi perubahan zaman.

Muhammadiyah juga semakin aktif dalam dialog antaragama, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk mencegah konflik sektarian dan memperkuat harmoni sosial.

Tantangan Muhammadiyah di Era Reformasi

Meskipun mengalami banyak kemajuan, Muhammadiyah juga menghadapi sejumlah tantangan besar dalam era reformasi:

  1. Politik Identitas: Meningkatnya politik berbasis agama menimbulkan potensi polarisasi di masyarakat. Muhammadiyah berupaya tetap netral dan fokus pada dakwah serta pendidikan.
  2. Radikalisme dan Ekstremisme: Muhammadiyah berusaha melawan pemahaman Islam yang keras melalui pendekatan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
  3. Globalisasi dan Teknologi: Perkembangan teknologi menuntut Muhammadiyah untuk beradaptasi, terutama dalam metode dakwah dan pendidikan digital.
  4. Kemandirian Ekonomi: Muhammadiyah terus mengembangkan sistem ekonomi berbasis koperasi dan syariah agar tidak bergantung pada sumber dana eksternal.

Kesimpulan

Muhammadiyah memainkan peran strategis dalam reformasi 1998 dan transisi demokrasi Indonesia. Dengan tetap berpegang pada Khittah 1926, Muhammadiyah menjaga netralitas politiknya dan fokus pada pembangunan sosial serta pendidikan.

Dalam era reformasi, Muhammadiyah menghadapi berbagai tantangan baru, tetapi tetap konsisten dalam misinya sebagai gerakan Islam yang berorientasi pada kemajuan, kemanusiaan, dan kesejahteraan umat.

Bagaimana Muhammadiyah menghadapi era globalisasi dan tantangan di abad ke-21?

Tragedi Jalan Rusak di Desa Sana Laok: Nyawa Melayang karena Infrastruktur Buruk

JAKARTAMU.COM -- Desa Sana Laok, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan, tengah diliputi kesedihan mendalam setelah seorang warga meninggal tragis di...
spot_img

More Articles Like This