JAKARTAMU.COM | Dua kegelisahan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir tertuang dalam buku Gerakan Islam Berkemajuan. Keduanya yaitu masalah ekonomi di Muhammadiyah dan posisi Muhammadiyah yang masih minoritas dari aspek jumlah.
Itulah temuan Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Bambang Setiaji dalam bedah buku di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Jumat (20/12/2024) malam.
Haedar, kata Bambang, gelisah lantaran paradoks antara gambaran dengan kenyataan di Muhammadiyah. Di satu sisi, Muhammadiyah terlanjur memperoleh predikat sebagai organisasi kaya. Tetapi di sisi lain PP Muhammadiyah sebenarnya tak memiliki wujudnya.
Baca juga: Haedar Nashir Bicara Erosi Moral, Singgung Anwar Usman sampai Gus Miftah
Aset dan kekayaan bernilai triliunan rupiah tersebut tersebar di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan umat. Hal ini membuat kendala dalam pembiayaan kegiatan.
”Nggak punya uang. Tapi ya istilahnya, berpandai-pandailah. Kegiatan satu di sana, kegiatan lain di mana, sehingga semua jalan,” ujar Bambang, mengutip TvMU Channel.
Haedar juga gelisah karena sumbangsih Muhammadiyah melalui Majelis Ekonomi belum begitu signifikan. Namun Bambang mengatakan untuk mengukur sumbangan ekonomi Muhammadiyah untuk umat dan bangsa tak bisa dari program Majelis Ekonomi.
”Jangan galau Pak Haedar. Sumbangan ekonomi terbesar Muhammadiyah bukan Majelis Ekonomi tetapi dari lulusan-lulusan PTMA, juga anak-anak Muhammadiyah di ITS, ITB, UGM, UI dan lain-lain, yang masuk industri-industri,” ujar dia.
Baca juga: Hukum Memakai Cadar Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Meskipun oligarki menguasai sirkulasi ekonomi terbesar di Indonesia, kata Bambang, Muhammadiyah memberikan sumbangan besar melalui kader dan aktivis yang berdiaspora di banyak korporasi.
“Jika melihatnya seperti ini, sebenarnya peran sumbangsih ekonomi Muhammadiyah besar sekali. Kalau yang ada di tangan kita ini hanya satu persen saja, tapi yang ada di umat kita itu seratus kali lipat,” ungkap guru besar ekonomi ini.
Mengenai kegelisahan kedua Haedar bahwa jumlah warga Muhammadiyah masih minoritas, menurut Bambang hasil survei itu tidak sepenuhnya benar.
Baca juga: Muhammadiyah Merespons Tawaran Lahan Bekas Tambang Adaro
Dia merujuk penjelasan Clifford Geertz bahwa sebagai gerakan modern Muhammadiyah tidak banyak diikuti masyarakat petan. Merekai cenderung berafiliasi dengan gerakan Islam tradisional.
Namun seiring perkembangan zaman, kelompok masyarakat petani terus menyusut hingga tinggal 28 persen saat ini. Sisanya boleh jadi pegawai, pengusaha, birokrat, dan sebagainya.
Jika klasifikasi Clifford Geertz benar, lambat laun masyarakat petani akan habis. Perubahan itu berimplikasi pada semakin kecilnya jumlah umat yang terafiliasi dengan gerakan Islam tradisional.
”Jadi ke depan, jika pertaniannya turun sepuluh persen, Muhammadiyah menjadi mayoritas,” ungkapnya.