JAKARTAMU.COM | PP Muhammadiyah angkat bicara terkait proyek kontroversial PIK 2 yang dinilai sebagai contoh nyata bagaimana pembangunan infrastruktur di Indonesia lebih mengutamakan kepentingan oligarki dibanding kesejahteraan rakyat.
“Kita suka bingung melihat data dan fakta yang ada di depan mata kita sendiri, karena banyaknya paradok yang kita lihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengusik rasa persatuan dan kesatuan serta sangat mengganggu bagi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Anwar Abbas, Kamis (9/1/2024).
Menurutnya, telah terjadi kolusi antara penguasa dengan pengusaha dalam membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada pemilik modal.
Buya Anwar Abbas mengungkapkan bagaimana pemerintah memberikan berbagai kemudahan kepada investor dengan dalih pembangunan ekonomi nasional.
“Pemerintah dan oknum-oknum yang ada tidak segan-segan memasang badan bagi melindungi mereka, termasuk melindungi perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan,” ujarnya.
Kasus PIK 2 dan Rempang menjadi sorotan utama dalam kritik yang disampaikan Buya Anwar Abbas yang juga sebagai Wakil Ketua MUI tersebut. Kedua proyek ini dinilai telah menciderai hati masyarakat karena menggunakan paradigma yang keliru.
“Paradigma yang dipergunakan untuk memajukan kawasan tersebut bukan lagi pembangunan untuk rakyat tapi rakyatlah yang harus dikorbankan untuk kepentingan pembangunan,” ujar dia.
Dalam pandangan Buya Anwar Abbas, strategi trickle down effect yang diterapkan dalam konteks Proyek Strategis Nasional (PSN) sudah seharusnya dikaji ulang. Menurutnya, strategi ini hanya menghasilkan kemakmuran bagi segelintir orang yang disebut oligark.
“Kekecewaan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat tentu akan terus meningkat dan menggumpal. Kalau ada saja sedikit percikan api maka dia tentu akan menyala dan menyambar tumpukan-tumpukan kekecewaan yang sudah ada,” ujar dia.
Yang lebih memprihatinkan, Buya Anwar Abbas menyoroti bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak mampu membela kepentingan rakyat dalam menghadapi kekuatan oligarki.
“Kasihan sekali kita dengan nasib rakyat di negeri ini karena Pancasila tidak bisa membela kepentingan mereka,” ujar dia.
Kritik keras dari Muhammadiyah ini mengindikasikan hilangnya kedaulatan rakyat atas tanah dan hak-hak mereka, serta ketidakberdayaan masyarakat menghadapi kekuatan pengusaha dan penguasa.
Pernyataan Buya Anwar Abbas ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang arah pembangunan nasional.
Kasus PIK 2 kini tidak lagi sekadar masalah pembangunan lokal, tetapi telah menjadi simbol ketimpangan dalam strategi pembangunan nasional yang lebih mengutamakan kepentingan segelintir elite dibanding kesejahteraan rakyat banyak.
Fenomena ini semakin menguatkan kekhawatiran berbagai pihak akan meningkatnya potensi konflik sosial akibat ketimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan nasional.