Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

Muhammadiyah-NU, Dua Sayap Garuda yang Menguatkan Indonesia

spot_img
Must Read

DEPOK, JAKARTAMU.COM | Konvergensi pemahaman keislaman yang berkembang di Indonesia telah melahirkan generasi muslim baru dengan visi terbuka namun tetap menjaga tradisi. Generasi ini menjadi kekuatan unik Islam Indonesia masa depan yang tidak dimiliki negara lain. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam tausiyahnya di Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok, Sabtu (8/3/2025).

Pernyataan ini disampaikan Mu’ti berkaitan dengan hubungan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dia menekankan bahwa hubungan harmonis antara Muhammadiyah dan NU merupakan kunci kekuatan umat Islam Indonesia. Kedekatannya dengan Kiai Dr. Cholil Nafis, seorang tokoh NU telah membuktikan kedua organisasi ini bukanlah entitas yang berseberangan, melainkan dua sayap yang mengangkat Islam di Indonesia.

“Kami sering tampil bersama di berbagai acara, tanpa skenario, tanpa perlu diarahkan, sudah saling mengisi. Kalau semua umat seperti Kiai Cholil dan mungkin juga seperti saya, Indonesia akan bebas dari persoalan khilafiyah dan furukiyah,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.

Baca juga: Abdul Mu’ti Sebut Indonesia Emas Tak Perlu Menunggu 2045

Mu’ti juga menyoroti perubahan signifikan yang terjadi di Muhammadiyah dan NU. Dulu Muhammadiyah sering dikaitkan dengan modernisme dan NU dengan tradisionalisme. Namun hal ini tidak relevan lagi.

”Alhamdulillah, banyak warga NU yang menguasai kitab putih, dan banyak warga Muhammadiyah yang memahami kitab kuning. Perbedaannya kini lebih pada afiliasi organisasi, sementara pandangan keagamaannya semakin dekat,” jelasnya.

Tiga Konvergensi Besar Kuntowijoyo

Mu’ti juga mengutip pemikiran Prof. Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid yang menyebutkan adanya tiga konvergensi besar di Indonesia: pertama, konvergensi antara kelompok tradisional dan modernis, yang menghapus perbedaan tajam antara NU dan Muhammadiyah; kedua, konvergensi antara santri dan abangan, yang semakin mencair; dan ketiga, konvergensi politik, di mana partai Islam dan partai nasionalis kini memiliki basis pemilih yang lebih beragam.

Faktor utama yang mendorong konvergensi ini, menurut Mu’ti, adalah kebijakan pendidikan agama sejak era Presiden Soeharto, peran perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN, serta interaksi santri dalam institusi pendidikan Muhammadiyah dan NU. Ia mencontohkan, sekitar 70 persen mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Malang berasal dari latar belakang NU.

”Ketika mereka belajar di Muhammadiyah, bisa jadi mereka semakin dekat dengan Muhammadiyah, atau justru semakin kuat identitas NU mereka. Yang jelas, keduanya saling menguatkan,” ujarnya sambil tersenyum.

Menutup tausiyahnya, Mu’ti pun terinspirasi Kiai Cholil Nafis untuk mengembangkan pesantren. Buyutnya dulu, kata Mu’ti, memiliki pesantren yang kini dikelola sepupunya. Ia adalah alumni madrasah sekolah Muhammadiyah yang kini menjadi ketua PCNU.

”Inilah bukti nyata bahwa Muhammadiyah dan NU bukanlah dua organisasi yang bersaing, tetapi seperti dua sayap Garuda. Burung Garuda bisa terbang tinggi karena dua sayap itu mengepak, dan dua sayap itu adalah Muhammadiyah dan NU,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.

Hadir dalam acara ini Deputi 1 Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora Prof. Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wali Kota Depok Dr. Supian Suri, Direktur GTK Madrasah Kemenag, Pendiri ESQ 165 Dr. Ary Ginanjar Agustian, Ketua Umum Yayasan Muslim Sinar Mas (YMSM) Dr. Saleh Husin, serta perwakilan dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

spot_img

Muhammadiyah Desak Pemerintah Tegas Hentikan Aktivitas Proyek Rempang City, PIK 2, dan Wadas

JAKARTAMU.COM | Penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional...

More Articles Like This