SURABAYA, JAKARTAMU.COM | Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menjadi pioneer terciptanya budaya keselamatan dan kesehatan saat beribadah di masjid. Inisiasi ini ditandai dengan menggelar focus group discussion di Gedung PW Muhammadiyah Jawa Timur, Kamis (27/3/3025).
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur Muhammad Khoirul Abduh mengatakan, belum ada tempat ibadah yang menekankan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sekaligus memerhatikan aspek lingkungan di sekitar masjid.
“Agak menarik bicara tentang masjid. Tapi sejauh ini belum ada standardisasi, tentang keselamatan dan kesehatan, disabilitas, ramah anak, musafir, sampai lingkungan,” kata Abduh, sapaan lekatnya.
Ia mengakui sejauh ini sangat banyak masjid di Indonesia dengan berbagai tipe. Sayangnya belum inklusif terhadap sesama. Misalnya, mengusir musafir, menggembok pintu masjid, tidak ramah penyandang disabilitas hingga anak-anak
“Ini ide cemerlang, karena belum ada masjid yang menerapkan standar keselamatan dan kesehatan. Kami merespons betul agar ke depan ada evaluasi,” tuturnya.
Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Jawa Timur, Muhammad Mirdasy menyatakan bahwa masjid sudah bukan lagi hanya menjadi tempat ritual melaksanakan beribadah.
”Masjid harus menjadi role model pembinaan sekaligus edukasi dan tempat menimba ilmu. Akan sangat bermanfaat apabila implementasi safety culture, health, and environment diberlakukan di masjid,” jelas Mirdasy.
Muhammadiyah dalam mendorong terciptanya tata kelola keselamatan dan kesehatan di masjid ini tidak sendirian. Persyarikatan menggandeng Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Provinsi (DK3P) Jawa Timur.
Dalam penyusunan panduan sekaligus pedoman ini telah dilaksanakan sejak Januari 2025, dengan menyebar kuisioner. Riset ini untuk mengetahui risiko dan ancaman, sekaligus mitigsi yang perlu dilakukan.
Wakil Ketua DK3P Jatim Edi Priyanto menegaskan, masjid bisa menjadi pusat aktivitas sosial dan pendidikan. Karena itu, pendekatan K3L (Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan) di masjid adalah keniscayaan, bukan tambahan.
“Harapan kami, semua masjid bisa menjadi pionir rumah ibadah yang aman, sehat, ramah lingkungan, dan inklusif. Ini bukan soal standar teknis, tapi gerakan kolaboratif. Sinergi ini untuk menjadikan masjid sebagai tempat ibadah yang rahmatan lil ‘alamin, selamat, dan sehat,” tegasnya.
Kajian awal DK3P menemukan risiko kebakaran karena instalasi listrik yang tak standar, lantai licin, kurangnya akses difabel, hingga penyebaran penyakit menular di ruang tertutup masih sering terabaikan.
Temuan di lapangan menunjukkan sudah waktunya menyusun panduan K3L yang tidak hanya teknis dan aplikatif. Di dalamnya juga berlandaskan pada nilai-nilai maqashid syariah, yakni menjaga jiwa, agama, akal, harta, dan keturunan.
“Maka itu perlu membangun culture untuk menciptakan K3L di masjid. Tetapi upaya ini membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena perlu intensitas dan kebiasaan dalam membangun budaya,” ujar pria yang juga Wakil Ketua Asosiasi Ahli K3 Jawa Timur.
Terkait dengan lingkungan, sudah saatnya masjid mengimplementasikan Piagam Paris 2015, terkait sustainable development goal’s (SDG’s). Perlunya penyediaan sampah agar tidak mewariskan sampah yang tidak bisa terurai kepada anak cucu.
“Kita tahu masjid kerap menggelar kegiatan dengan menyediakan makanan. Kerap terlihat sampah organik dan nonorganik dicampur. Padahal sampah seperti plastik, sulit terurai. Jika ini dilakukan, sudah bukan lagi memberi amal jariyah. Tapi dosa jariyah kepada anak cucu,” terangnya memungkasi.
Tak lupa pemilahan sampah botol plastik, sirkulasi udara di dalam masjid, penghijauan untuk memberi oksigen, hingga perawatan karpet agar lingkungan tetap bersih dan sehat.