Senin, Januari 6, 2025
No menu items!

Muhammadiyah Simbolik versus Muhammadiyah Substantif

Must Read

JAKARTAMU.COM | Dalam pengajian bulanan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Cipinang pada Sabtu, 4 Januari 2025, Prof. Dr. H. Bunyamin, M.Pd., mengingatkan pentingnya umat Islam untuk tidak berhenti pada ritual semata.

Beliau menegaskan bahwa Islam harus diimplementasikan secara sosial dan tercermin dalam perilaku sehari-hari, seperti menghargai waktu, menjaga kebersihan, serta bersikap sopan, ramah, dan peduli terhadap sesama.

Dalam kajian bertajuk Islam Simbolik dan Islam Substantif, Bunyamin menyebut Muhammadiyah sebagai contoh gerakan Islam substantif yang mampu menjawab berbagai tantangan umat. “Islam substantif itu terlihat dari kedisiplinan menghargai waktu, seperti memulai pengajian tepat waktu, meski peserta masih sedikit,” ujar Bunyamin.

Ia mencontohkan, pengajian di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dimulai tepat pukul 08.00 dan selesai pukul 10.00, tanpa kompromi meski banyak pertanyaan atau antusiasme peserta yang tinggi. Ketepatan waktu ini mencerminkan kedisiplinan yang menjadi bagian dari nilai Islam substantif.

Bunyamin juga menyoroti prinsip ta’awun Muhammadiyah yang mengedepankan semangat saling membantu. Namun, tetapi dia mengkritik sejumlah Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) yang enggan berbagi dana untuk mendukung cabang lain yang kurang mampu. “PCM dengan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang maju, tapi tidak mau berbagi, harus siap kehilangan keberkahannya,” tegasnya.

Prinsip ta’awun, lanjutnya, sangat penting untuk mendukung program dakwah dan pengajian rutin, terutama bagi PCM atau Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) yang masih lemah. Ironisnya, beberapa PCM dan PRM yang sudah berdiri lebih dari satu dekade masih belum mampu menyelenggarakan kajian rutin.

Kesalehan Ritual versus Kesalehan Sosial

Kajian ini juga menyoroti kesenjangan antara kesalehan ritual dan sosial umat Islam Indonesia. Meskipun ritual keagamaan seperti salat Jumat dan pengajian massal sangat marak, hal ini belum sepenuhnya tercermin dalam perilaku sosial yang lebih islami.

Bunyamin menyebut penelitian dua profesor dari George Washington University, Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari. Keduanya menunjukkan bahwa negara-negara dengan nilai-nilai islami tertinggi justru didominasi oleh negara non-Muslim.

Pada 2014, misalnya, Irlandia menempati posisi teratas, sementara Indonesia berada di peringkat ke-140 dari 208 negara.

Kendati Muhammadiyah bergerak secara subtantif, Bunyamin juga mengakui warganya sendiri ada yang perilakunya Simbolik. Menurut dia, warga Muhammadiyah simbolik hanya terfokus pada atribut, seperti memiliki Nomor Baku Muhammadiyah (NBM), tetapi perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Muhammadiyah.

Sebaliknya, Muhammadiyah substantif adalah mereka yang benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

“Secara organisasi, Muhammadiyah tidak merayakan Tahun Baru Masehi, tetapi secara personal masih banyak warganya yang ikut merayakan. Ini menunjukkan perlunya penguatan pemahaman dan implementasi Islam substantif,” tutup Bunyamin.

Penguasa Jahat Akan Ditumbangkan Budak Angon: Jadi Tumbal untuk Perbuatannya Sendiri

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SEPERTI biasa, diskusi rutin setiap malam Jumat, dari sekian banyak naskah Wangsit Siliwangi, sepakat...

More Articles Like This