Minggu, April 20, 2025
No menu items!

Muhammadiyah Tak Merumuskan Amalan Khusus Nisfu Sya’ban

Must Read

JAKARTAMU.COM — Nisfu Sya’ban tahun ini bertepatan pada 13 Februari 2025. Mayoritas umat Islam mengenal Nisfu Sya’ban sebagai pertengahan bulan Sya’ban. Hanya saja, Muhammadiyah tidak merumuskan khusus terkait keutamaan dari Nisfu Sya’ban tersebut.

Ibadah pada Nisfu Sya’ban menurut pandangan Muhammadiyah tetap dapat dilakukan. Akan tetapi, tanpa harus mengkhususkannya. Muhammadiyah, ketika memberikan fatwa atau pandangan selalu berdasarkan pada Alqur-an dan Sunnah Rasulullah Saw. Sedangkan referensinya pada kitab shahih, hadis yang mengatakan untuk puasa Nisfu Sya’ban adalah hadis dhoif.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa Nisfu Sya’ban itu bukan sesuatu yang disyariatkan. Salah seorang yang mengatakan hal ini adalah Yayuli, S.Ag., M.P.I., Kabid Pengamalan AIK dan Kaderisasi Pondok Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Yayuli, pada Kamis (13/2) mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak mengakui atau mengagendakan puasa Nisfu Sya’ban. Menurut dia Muhammadiyah berpegang pada hadis yang diriwayatkan istri Rasulullah Shalallallahu ‘laihi wa sallam (Saw): Aisyah Radhiyallahu ‘anha (Ra), sebagaimana termaktub dalam hadits berikut ini:

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Artinya: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw berpuasa satu bulan penuh, kecuali di bulan Ramadan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa (sunah) di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari & Muslim)

Menurut Yayuli, momentum Sya’ban ummat dianjurkan untuk memperbanyak puasa, namun tidak hanya pada momentum nisfu Sya’ban; Tidak ada ketentuan apakah berpuasanya itu nisfu Sya’ban, awal Sya’ban, atau akhir Sya’ban.

Yayuli juga menerangkan, di dalam doa yang disampaikan Nabi Saw berkaitan dengan tiga bulan yaitu Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Ada pun yang diabadikan di kitab shahih al musnad oleh imam Ahmad; Doanya berbunyi: “Ya Allah berikanlah aku keberkahan di bulan Rajab, di bulan Sya’ban, dan aku sampaikanlah pada bulan Ramadhan”.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bulan Rajab itu bulan untuk menanam, kemudian bulan Sya’ban adalah untuk menyirami. Sedangkan bulan Ramadhan adalah bulan memanen dari hasil yang ditanam pada bulan sebelumnya. “Artinya kita memang dianjurkan untuk berbuat kebajikan,” tutur Yayuli.

Mempersiapkan diri secara mental dan spiritualdalam menghadapi bulan Ramadhan, tambah dia, karena bulan ini adalah bulan suci, bulan maghfirah, dan bulan barokah, dan bulan madrasah ruhiyah.

Madrasah ruhiyah menurutnya adalah bulan pendidikan untuk spiritualitas umat manusia yang beragama Islam. Bulan Sya’ban menjadi bulan pendidikan agar fisik tidak sampai terkejut ketika ummat akan melaksanakan puasa satu bulan. Maka itu, pada bulan Sya’ban, Rasulullah Saw menganjurkan supaya umat Islam memperbanyak puasa sunnah, seperti puasa: Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, dan Puasa Daud.

“Amalan yang dapat dan perlu sekali dilakukan dalam menapaki Sya’ban tentunya adalah amal shalih; Merupakan amaliah seperti berbuat kebajikan, bersedekah, meningkatkan ibadah baik yang wajib atau pun yang sunnah, tetapi lebih ditekankan pada puasa sunnah,” jelas Yayuli.

Lain itu, dia juga menganjurkan untuk senantiasa berdoa setiap waktu karena berdoa itu adalah inti atau ruh dari ibadah. “Selain itu lagi, adalah bertaubat sebagai bagian dari amal shalih; Taubat berfungsi untuk membersihkan diri atau melakukan penyucian diri atau juga tazkiyatun nafs,” terang dia.

Tazkiyatun nafs, disebut Yayuli merupakan proses yang penting pada perjalanan spiritual dalam Islam. Alasannya tazkiyah nafs sangat membantu seseorang mencapai kedamaian jiwa dan kedekatan dengan Allah. “Konsep ini dicetuskan oleh Imam Al Ghazali,” kata dia.

Terdapat tiga tahapan dari konsep tersebut. Pertama adalah takhaliyat al-nafs mengosongkan diri dari perbuatan tidak baik. Umat Islam menghindari perbuatan-perbuatan yang berimplikasi pada potensi sesat. Kemudian setelah mengosongkan diri dari perbuatan tidak baik itu, dilakukan tahalliyat al-nafs atau menampakkan perbuatan yang baik (shalih). Selanjutnya adalah tajalliyat al-nafs yaitu menghias atau memperindah dengan berbuat ihsan atau berbuat aneka yang bernilai kebaikan. (agk: news.ums)

Harta, Kelas, dan Takwa: Menimbang Martabat Manusia dalam Tiga Paradigma Dunia

JAKARTAMU.COM | Di tengah pusaran perubahan zaman yang serba cepat, manusia senantiasa mencari pijakan untuk memahami siapa dirinya...
spot_img

More Articles Like This