PENGGEMAR film Hollywood pastilah mengenal Kevin Costner. Salah satu film terkenalnya adalah Waterworld. Film ini bercerita jauh tentang masa depan, ketika semua es di kutub bumi mencair dan menenggelamkan seluruh daratan.
Dalam film ini dirilis perdana tahun 1995 itu disematkan sebuah mitos bahwa masih ada sebuah daratan yang kering untuk manusia bertahan hidup secara normal. Petualangan mencari secuil daratan itulah inti film nominasi Oscar untuk kategori best sound tahun 1996 ini.
Dari petualangan aksi aktor Hollywood tersebut, tampak bahwa ketersediaan daratan menjadi isu krusial peradaban manusia, sesuatu yang sangat dekat dengan tentangga Indonesia, yaitu Singapura.
Sepekan sebelum pemungutan suara Pilpres 2024 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Negeri Singa itu. Di atas Marina Barrage, waduk yang dengan arsitektur keren dan ramah lingkungan, sang tour guide mulai beraksi memberikan informasi tentang negara yang luas daratannya pernah disebut Habibie sebagai little red dot itu.
Menurut tour guide, sebelum tahun 1960 Singapura punya bukit di tengah kota. Tetapi bukit itu dikeruk habis untuk reklamasi pantai demi menambah luas daratan. Untuk memperluas daratan, Singapura juga terus melakukan lobi dan negosiasi kepada negara-negara tetangga, termasuk Indonesia tentunya.
”Singapura bahkan menyewa pulau-pulau milik negara tetangga,” ujar sang tour guide Pulau Batam Indonesia. ”Itu pulau Batam, sekarang cerah dari sini sudah kelihatan jelas. Naik boat dari marina hanya 30- 45 menit. Jika liburan warga indonesia ke Singapura, kami kebalikannya mengunjungi Indonesia,” lanjut dia.
Bagi negara mini seperti Singapura, reklamasi merupakan pilihan utama untuk menambah luas daratan. Lahan yang tidak berguna dan berair untuk dijadikan lahan yang berguna dengan cara dikeringkan. Kawasan pantai, lepas pantai atau offshore, danau, rawa-rawa atau sungai yang begitu lebar bisa menjadi sasaran.
Reklamasi bertujuan mengubah lahan yang dianggap tidak bermanfaat tersebut menjadi kawasan pertanian, pemukiman, perindustrian, pertokoan/bisnis dan objek wisata.
Singapura bukan satu-satunya negara yang melakuan reklamasi. Negara mini di belahan benua Eropa, yaitu Belanda, juga melakukan hal yang sama. Boleh dibilang, negara yang pernah menjajah Indonesia itu sangat bergantung pada proyek reklamasi. Salah satu proyeknya yang terkenal adalah Polder Beemster, yang kini menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Jepang pun memanfaatkan reklamasi untuk mengembangkan pelabuhan dan bandara. Contohnya adalah kawasan Kansai di Kyoto. Begitu juga Korea Selatan yang melahirkan kawasan Songdo, sebuah kota modern di pantai barat semenanjung Korea. Dengan luas 38.000 hektare, Songdo menjadi pusat industri, bandara, dan destinasi wisata.
Di Jazirah Arab, Uni Emirat Arab melakukan banyak reklamasi, yang di antaranya melahirkan ikon dunia, yaitu Palm Islands. Tiga pulau buatan berbentuk pohon palem ini dikembangkan untuk meningkatkan pariwisata dan mendiversifikasi sumber pendapatan negara di luar minyak bumi.
Kembali ke Indonesia, diskusi singkat dengan pemandu wisata di Singapura tersebut memunculkan spekulasi tentang proyek reklamasi yang sedang berlangsung di Teluk Jakarta, seperti pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan Rempang Eco City.
Apakah mungkin proyek-proyek ini turut disiapkan atau dibicarakan untuk kepentingan Singapura? (*)