Cahaya di Tanah Makkah
Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
GURUN pasir membentang luas, angin panas berdesir di antara bebatuan yang kokoh di Tanah Hijaz. Di tengah padang gersang itu, Makkah berdiri sebagai pusat perdagangan yang sibuk, tempat para kafilah dari berbagai penjuru singgah, membawa rempah, emas, dan barang-barang berharga lainnya. Namun di balik gemerlapnya perdagangan, kota ini menyimpan kegelapan moral yang begitu pekat.
Di Makkah saat itu, kebiasaan jahiliyah merajalela. Penyembahan berhala menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap kabilah memiliki sesembahan sendiri, bahkan di sekitar Ka’bah, rumah ibadah peninggalan Nabi Ibrahim, ratusan berhala berjejer. Minuman keras, perjudian, dan perbudakan adalah pemandangan yang biasa. Perempuan diperlakukan hina, bahkan bayi perempuan yang lahir kerap dikubur hidup-hidup, dianggap sebagai aib bagi keluarga.
Di tengah kebiadaban itu, Kabilah Quraisy menjadi suku yang paling terpandang. Mereka adalah penjaga Ka’bah dan penguasa Makkah, memegang kendali atas jalur perdagangan yang menghubungkan Yaman hingga Syam. Salah satu pemimpin terhormat Quraisy adalah Abdul Muthalib bin Hasyim, lelaki bijaksana yang sangat dihormati karena kebijakan dan kedermawanannya. Dialah yang berhasil menggali kembali sumur Zamzam yang sempat hilang selama berabad-abad.
Suatu hari, langit Makkah diselimuti kecemasan. Dari arah Yaman, sebuah pasukan besar bergerak menuju kota suci itu. Pasukan itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur Habasyah yang ingin menghancurkan Ka’bah dan menggantinya dengan rumah ibadah yang ia bangun di Yaman. Ia datang dengan bala tentara yang tak tertandingi, lengkap dengan gajah-gajah besar yang belum pernah dilihat oleh penduduk Makkah sebelumnya.
Penduduk Quraisy ketakutan. Mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan raksasa itu. Abdul Muthalib, dengan ketenangan seorang pemimpin, memilih untuk tidak melawan. Ia hanya berkata kepada Abrahah, “Ka’bah memiliki Pemiliknya sendiri, dan Dia yang akan menjaganya.” Dengan penuh kepercayaan, ia mengajak penduduk Makkah mengungsi ke perbukitan, meninggalkan kota yang terancam.
Ketika pasukan gajah mendekati Ka’bah, sesuatu yang luar biasa terjadi. Dari langit, burung-burung kecil berbondong-bondong datang, membawa batu-batu kecil dari neraka. Batu-batu itu mereka lepaskan dari ketinggian, menimpa pasukan Abrahah dengan dahsyat. Tak ada yang bisa lolos. Para prajurit bergelimpangan, tubuh mereka hancur, sementara gajah-gajah yang perkasa tiba-tiba ketakutan dan berbalik arah. Dalam sekejap, pasukan besar itu musnah tanpa perlawanan.
Peristiwa itu menjadi bukti nyata kekuasaan Allah. Penduduk Makkah yang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri semakin yakin bahwa Ka’bah bukanlah rumah ibadah biasa. Tahun itu kemudian dikenal sebagai Tahun Gajah, sebuah peristiwa yang akan dikenang dalam sejarah Islam sebagai mukjizat sebelum datangnya cahaya yang lebih besar.
Tidak lama setelah peristiwa dahsyat itu, kabar gembira datang dari rumah Abdullah bin Abdul Muthalib. Istrinya, Aminah binti Wahab, tengah mengandung seorang bayi yang kelak akan membawa cahaya bagi dunia.
(Bersambung ke Seri 2 – Kabar Gembira dari Langit)