Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Malam itu, ketakutan masih menyelimuti hati Muhammad. Peristiwa yang baru saja ia alami di Gua Hira begitu nyata, begitu mengguncang, seolah mengguncang seluruh jiwanya. Ia merasa ada sesuatu yang besar telah terjadi—sesuatu yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Di sampingnya, Khadijah tetap setia. Ia menggenggam tangan suaminya, memberikan ketenangan yang ia butuhkan. Sebagai seorang wanita yang cerdas dan bijaksana, ia tahu bahwa Muhammad tidak mungkin mengalami halusinasi.
“Aku takut sesuatu telah terjadi padaku…” kata Muhammad dengan suara lemah.
Khadijah menggeleng. “Tidak, demi Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakanmu.”
Khadijah yakin bahwa suaminya telah mengalami sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang datang dari Tuhan. Namun, ia butuh kepastian. Maka, tanpa ragu, ia membawa Muhammad menemui seseorang yang bisa menjelaskan semua ini—Waraqah bin Naufal.
Siapakah Waraqah bin Naufal?
Waraqah adalah sepupu Khadijah, seorang lelaki tua yang dikenal sebagai pencari kebenaran. Di saat orang-orang Quraisy masih tenggelam dalam penyembahan berhala, Waraqah memilih jalan yang berbeda.
Ia adalah seorang yang mempelajari ajaran Taurat dan Injil. Ia tahu tentang nabi-nabi terdahulu, tentang wahyu yang turun kepada mereka, dan tentang janji Allah kepada manusia.
Saat Muhammad dan Khadijah tiba di rumahnya, Waraqah melihat sesuatu yang berbeda pada wajah Muhammad. Ada ketakutan di matanya, tetapi juga ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah tanda bahwa ia baru saja mengalami sesuatu yang besar.
“Wahai putra saudaraku, apa yang terjadi?” tanya Waraqah dengan lembut.
Muhammad pun menceritakan segalanya. Bagaimana ia sering merenung di Gua Hira, bagaimana cahaya memenuhi gua, bagaimana suara itu memerintahkannya untuk membaca, dan bagaimana sosok besar itu—Jibril—muncul di hadapannya.
Waraqah mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak terkejut, tetapi justru tampak semakin serius.
Kabar dari Kitab-Kitab Lama
Setelah Muhammad selesai bercerita, Waraqah menghela napas panjang. Kemudian, dengan suara penuh keyakinan, ia berkata:
“Ini adalah Namus yang pernah datang kepada Musa.”
Muhammad menatapnya bingung.
Waraqah melanjutkan, “Namus adalah wahyu. Malaikat yang datang kepadamu itu adalah Jibril, malaikat yang juga diutus kepada nabi-nabi sebelum engkau. Wahai Muhammad, engkau adalah orang yang terpilih. Engkau adalah nabi terakhir yang telah disebutkan dalam kitab-kitab sebelumnya.”
Muhammad terdiam. Kata-kata Waraqah begitu berat. Ia tahu bahwa dirinya berbeda dari orang-orang Quraisy, tetapi menjadi seorang nabi? Itu adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Namun, sebelum Muhammad bisa berkata apa-apa, Waraqah menatapnya dengan penuh kesedihan.
“Andai aku masih muda dan bisa hidup lebih lama…” katanya lirih. “Andai aku masih ada ketika kaummu mengusirmu…”
Muhammad terkejut. “Mereka akan mengusirku?”
Waraqah mengangguk. “Tidak ada seorang pun yang datang membawa kebenaran seperti ini kecuali ia akan dimusuhi. Kaummu akan menolakmu, mereka akan menyakitimu, bahkan mencoba membunuhmu. Tetapi bersabarlah, karena inilah jalan para nabi.”
Hening menyelimuti ruangan.
Waraqah menatap Muhammad dengan penuh harapan, seolah ia melihat sesuatu yang selama ini ia nantikan.
Namun, tak lama setelah itu, Waraqah meninggal dunia.
Masa Penantian yang Menggelisahkan
Setelah pertemuannya dengan Waraqah, Muhammad merasa sedikit lebih tenang. Namun, ia masih tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi.
Ia terus menunggu, berharap wahyu berikutnya akan turun, berharap ada petunjuk lebih lanjut. Tetapi hari-hari berlalu tanpa ada suara, tanpa ada cahaya, tanpa ada Jibril yang datang lagi.
Dalam masa penantian itu, kegelisahan kembali menyelimuti hatinya. Ia mulai bertanya-tanya—apakah semua ini benar? Apakah ia benar-benar nabi? Ataukah ini hanya mimpi yang aneh?
Malam-malamnya dipenuhi oleh doa dan pencarian. Ia kembali ke Gua Hira, berharap ada jawaban. Tetapi tetap saja, langit terasa sunyi.
Hingga akhirnya, pada suatu hari, saat ia sedang berjalan di sekitar Makkah, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Ia mendengar suara dari langit.
Ketika ia menengadah, ia melihat Jibril dalam wujud aslinya, memenuhi cakrawala dengan sayapnya yang besar.
Jibril berkata:
“Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah.”
Dan saat itu juga, Muhammad tahu—ini bukan mimpi, bukan halusinasi, bukan kebingungan.
Ini adalah kenyataan.
Ia benar-benar telah dipilih oleh Allah untuk membawa cahaya kepada dunia.
Namun, apakah Quraisy akan menerimanya?
(Bersambung ke Seri 11 – Wahyu Kedua dan Tugas Besar)