Rabu, Maret 12, 2025
No menu items!
spot_img

Nabi Muhammad SAW, Cahaya di Tanah Makkah (14): Boikot terhadap Kaum Muslimin

spot_img
Must Read

Cerbung: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati

Suasana Makkah semakin tegang. Setiap hari, dakwah Muhammad SAW semakin didengar, dan jumlah pengikutnya terus bertambah. Namun, seiring dengan itu, kebencian kaum Quraisy juga semakin membara.

Mereka telah mencoba segalanya—fitnah, siksaan, bahkan ancaman pembunuhan—tetapi Islam tetap berkembang. Keimanan kaum Muslimin justru semakin kokoh, seolah-olah tekanan hanya membuat mereka semakin kuat.

Quraisy pun sadar bahwa mereka butuh strategi baru. Jika kekerasan tidak menghentikan Muhammad, maka mereka akan menggunakan senjata lain: pemiskinan dan isolasi sosial.

Maka, lahirlah keputusan yang akan menjadi salah satu ujian terberat bagi kaum Muslimin—boikot total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib.

Piagam Kejam yang Mengguncang Makkah

Para pemuka Quraisy berkumpul di Darun Nadwah, tempat musyawarah mereka. Setelah perdebatan panjang, mereka menulis sebuah perjanjian:

  1. Tidak ada seorang pun yang boleh berdagang dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib.
  2. Tidak ada yang boleh menikahi anggota keluarga mereka.
  3. Tidak ada yang boleh menjalin hubungan sosial atau politik dengan mereka.
  4. Tidak ada yang boleh memberikan makanan atau bantuan apa pun kepada mereka.

Perjanjian itu ditulis di atas kulit binatang dan digantung di dalam Ka’bah—tanda bahwa keputusan ini tidak bisa diubah.

Dan sejak hari itu, penderitaan kaum Muslimin pun dimulai.

Tiga Tahun Penuh Derita

Dengan keputusan boikot ini, seluruh Bani Hasyim dan Bani Muthalib—baik yang beriman maupun yang belum—terpaksa mengungsi ke Lembah Abu Thalib, sebuah daerah tandus di pinggiran Makkah.

Hari demi hari berlalu, dan keadaan semakin sulit.

Makanan tidak bisa dibeli.
Para pedagang Quraisy sengaja menaikkan harga bahan makanan, sehingga apa pun yang tersisa menjadi sangat mahal. Para sahabat sering keluar diam-diam untuk membeli makanan, tetapi mereka sering dihadang dan diusir.

Kelaparan menjadi sahabat sehari-hari.
Di malam-malam yang sunyi, suara tangisan anak-anak kelaparan terdengar dari tenda-tenda. Mereka menangis meminta makanan, tetapi tidak ada yang bisa diberikan.

Rumput dan daun pun menjadi makanan.
Karena tidak ada makanan yang tersisa, kaum Muslimin terpaksa makan daun-daunan dan kulit kayu. Beberapa bahkan mengunyah tulang kering yang sudah lama mengeras, hanya untuk meredakan rasa lapar.

Namun, meskipun penderitaan begitu berat, tidak ada satu pun yang meninggalkan Islam.

Pengorbanan Abu Thalib dan Khadijah

Di tengah cobaan ini, dua orang terus menjadi tameng bagi Rasulullah: Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid.

Abu Thalib, meskipun belum masuk Islam, tetap teguh melindungi Muhammad. Ia menggunakan sisa pengaruhnya untuk mencari bantuan, tetapi hampir tidak ada yang berani melawan keputusan Quraisy.

Di malam hari, ia sering mengganti tempat tidur Muhammad—kadang-kadang meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempatnya—karena khawatir ada yang mencoba membunuh keponakannya.

Sementara itu, Khadijah memberikan seluruh hartanya untuk membantu kaum Muslimin bertahan. Meskipun ia adalah wanita kaya dan terhormat, setelah bertahun-tahun diboikot, hartanya habis, dan ia pun merasakan lapar seperti yang lain.

Namun, Khadijah tidak pernah mengeluh. Ia tetap mendukung suaminya dengan penuh cinta dan keyakinan.

Bantuan Diam-diam dari Orang Quraisy yang Berhati Lembut

Meskipun kebanyakan Quraisy setuju dengan boikot, ada beberapa orang yang diam-diam merasa iba.

Hisham bin Amr, seorang Quraisy yang berhati lembut, sering menyelundupkan makanan di malam hari. Ia mengikatkan gandum dan kurma di punggung untanya, lalu membiarkannya berjalan ke lembah tempat kaum Muslimin tinggal.

Ia juga mengajak beberapa rekannya yang masih memiliki hati nurani—seperti Zuhair bin Abi Umayyah, Mut’im bin Adi, dan Abul Bakhtari—untuk mencari cara mengakhiri boikot.

Setelah tiga tahun penuh penderitaan, akhirnya suara-suara keberatan mulai terdengar di kalangan Quraisy.

Mereka berkata, “Apakah kita akan membiarkan saudara-saudara kita mati kelaparan? Ini bukan kehormatan bagi kita!”

Akhirnya, lima orang Quraisy yang berpengaruh sepakat untuk mengakhiri boikot.

Piagam yang Dihancurkan oleh Rayap

Mereka pergi ke Ka’bah, tempat piagam boikot digantung. Saat itu, Abu Thalib juga membawa Muhammad ke sana.

Ketika mereka hendak membuka piagam, Muhammad berkata, “Wahai kaum Quraisy, sebelum kalian melihat isi piagam itu, ketahuilah bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memakannya. Tidak ada yang tersisa kecuali nama Allah.”

Orang-orang Quraisy terkejut. Mereka segera membuka piagam itu, dan benar saja—hampir seluruh isi piagam telah hancur, kecuali bagian yang bertuliskan ‘Bismikallah’ (Dengan Nama Allah).

Melihat hal ini, banyak yang tersadar bahwa ini adalah tanda dari Allah.

Akhirnya, boikot pun dicabut. Setelah tiga tahun penuh penderitaan, kaum Muslimin akhirnya bisa kembali ke Makkah.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

Karena setelah semua ini, Rasulullah harus menghadapi dua kehilangan besar yang akan mengguncang hatinya—kepergian Abu Thalib dan Khadijah.

Tahun itu akan dikenal sebagai Tahun Kesedihan, sebuah masa yang menguji keteguhan hati Nabi dengan cara yang lebih dalam dan personal.

(Bersambung ke Seri 15 – Tahun Kesedihan: Kepergian Abu Thalib dan Khadijah)

spot_img

Strategi Terpadu Pemerintah untuk Kelancaran Idulfitri dan Nyepi 2025

JAKARTAMU.COM | Menjelang perayaan Idulfitri dan Nyepi tahun 2025, pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan kelancaran mobilitas...

More Articles Like This