Jumat, Maret 14, 2025
No menu items!
spot_img

Nabi Muhammad SAW, Cahaya di Tanah Makkah (15): Kepergian Abu Thalib dan Khadijah

spot_img
Must Read

Cerbung: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati

BOIKOT telah berakhir. Kaum Muslimin akhirnya bisa kembali menjalani kehidupan di Makkah setelah tiga tahun penuh penderitaan di Lembah Abu Thalib. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar.

Tahun itu menjadi tahun yang paling berat bagi Rasulullah SAW—tahun yang kemudian dikenal sebagai ‘Aamul Huzn’ (Tahun Kesedihan).

Dua orang yang paling dicintai dan melindunginya selama ini berpulang ke hadapan Allah dalam waktu yang berdekatan: Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid.

Duka itu begitu dalam, begitu menghancurkan, hingga Rasulullah merasakan kesedihan yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Abu Thalib: Perisai yang Runtuh

Sejak kecil, Abu Thalib bukan hanya seorang paman bagi Muhammad, tetapi juga seperti seorang ayah. Ia yang merawatnya setelah wafatnya Abdul Muthalib, ia yang membela dan melindungi Muhammad dari kejahatan Quraisy, bahkan ketika semua orang menentangnya.

Namun, usia Abu Thalib telah tua. Bertahun-tahun mengalami tekanan dari Quraisy, ditambah penderitaan selama boikot, membuat tubuhnya semakin lemah.

Ketika penyakitnya semakin parah, para pemuka Quraisy melihat ini sebagai kesempatan terakhir mereka.

Mereka datang dan berkata, “Wahai Abu Thalib, engkau adalah pemimpin kami dan engkau hampir meninggalkan dunia ini. Kami hanya ingin satu hal: suruhlah Muhammad berhenti mencela tuhan-tuhan kami, maka kami pun tidak akan mengganggunya.”

Abu Thalib memanggil Muhammad dan menyampaikan permintaan itu. Rasulullah memandangnya dengan lembut, lalu berkata,

“Wahai paman, katakanlah Laa ilaaha illallah, maka aku akan bisa membelamu di hadapan Allah.”

Namun, Abu Jahal dan para pembesar Quraisy yang ada di sana segera menyela, “Apakah engkau akan meninggalkan agama leluhurmu, Abu Thalib?”

Hati Abu Thalib bergejolak. Ia mencintai Muhammad lebih dari siapa pun, tetapi ia juga takut pada tekanan masyarakatnya.

Hingga akhirnya, dengan napas yang mulai melemah, ia berkata,

“Aku tetap di atas agama Abdul Muthalib.”

Dan tak lama setelah itu, Abu Thalib menghembuskan napas terakhirnya.

Rasulullah duduk diam di samping jasadnya. Matanya basah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pamannya pergi tanpa mengucapkan syahadat.

Kesedihan yang mendalam menyelimuti Rasulullah. Abu Thalib bukan hanya pelindungnya, tetapi juga benteng terakhir yang menjaga Muhammad dari kejahatan Quraisy. Dengan kepergiannya, kaum Quraisy semakin berani menindas Rasulullah.

Khadijah: Cahaya yang Padam

Belum hilang kesedihannya atas kepergian Abu Thalib, Rasulullah kembali kehilangan orang yang sangat dicintainya—Khadijah binti Khuwailid.

Sejak awal kenabian, Khadijah selalu menjadi pendukung utama Rasulullah. Ia yang pertama kali mempercayai wahyu, ia yang selalu menenangkan dan menguatkan suaminya dalam masa-masa sulit.

Namun, bertahun-tahun mengalami tekanan, siksaan mental, dan penderitaan akibat boikot telah menguras tenaganya.

Tak lama setelah Abu Thalib wafat, Khadijah jatuh sakit.

Di hari-hari terakhirnya, Rasulullah selalu berada di sisinya. Dengan lembut, ia menggenggam tangan istrinya, mengusap wajahnya yang penuh ketabahan.

“Wahai istriku, engkau adalah wanita terbaik di dunia ini. Aku tidak pernah mendapatkan istri yang lebih baik darimu.”

Khadijah tersenyum lemah, “Wahai suamiku, cukuplah bagiku bahwa aku telah bersamamu dalam dakwah ini.”

Tak lama kemudian, Khadijah mengembuskan napas terakhirnya.

Rasulullah terdiam. Air matanya mengalir. Orang yang paling ia cintai telah pergi.

Dengan penuh kelembutan, Rasulullah sendiri yang menggali makam untuknya di pemakaman Hajun (Jannatul Mu’alla), tanpa prosesi khusus, tanpa kain kafan yang mewah.

Khadijah meninggalkan dunia dengan penuh kemuliaan, setelah mengorbankan segalanya demi Islam.

Makkah Tidak Lagi Sama

Setelah kepergian Abu Thalib dan Khadijah, keadaan semakin sulit bagi Rasulullah.

Kaum Quraisy semakin berani melecehkan dan menyakitinya. Jika dulu mereka masih segan karena ada Abu Thalib, kini mereka tidak lagi menahan diri.

Suatu hari, Rasulullah berjalan di jalanan Makkah. Seorang laki-laki Quraisy melemparkan tanah ke kepalanya, lalu berkata,

“Lihatlah orang ini! Inilah nabi kalian!”

Rasulullah tidak berkata apa-apa. Dengan penuh kesabaran, ia berjalan pulang dalam keadaan kotor, hingga putrinya Fatimah Az-Zahra melihatnya dan menangis.

“Ayah, mengapa mereka melakukan ini padamu?”

Rasulullah tersenyum dan berkata, “Jangan menangis, wahai anakku. Allah akan menolong ayahmu.”

Namun, di dalam hatinya, beliau tahu bahwa Makkah tidak lagi aman baginya.

Ia butuh tempat baru. Sebuah tempat di mana Islam bisa berkembang tanpa teror dan ancaman.

Maka, dengan hati yang penuh harapan, Rasulullah memutuskan untuk pergi ke sebuah kota yang mungkin bisa menerimanya—Tha’if.

Namun, perjalanan ke Tha’if akan menjadi salah satu cobaan terberat dalam hidupnya.

(Bersambung ke Seri 16 – Perjalanan ke Tha’if: Ujian yang Menghancurkan Hati)

spot_img

Kolaborasi Lintas Agama untuk Mitigasi Risiko Lingkungan Masa Depan Berkelanjutan

JAKARTAMU.COM | PPN/Bappenas bersama The Foreign, Commonwealth, and Development Office of the UK Government (FCDO) menyelenggarakan Forum Grup Diskusi...

More Articles Like This