Cerbung: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Setelah kepergian Abu Thalib dan Khadijah, Makkah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi Rasulullah SAW. Perlindungan yang dulu diberikan oleh pamannya telah tiada, sementara dukungan dan ketenangan yang selalu ia dapatkan dari istrinya kini hanya tinggal kenangan.
Kaum Quraisy semakin berani menghinanya, mencemoohnya, bahkan menyakiti beliau secara fisik. Namun, Rasulullah tidak menyerah.
Beliau mulai mencari tempat lain, sebuah kota yang mungkin mau menerima Islam dan melindunginya.
Dan harapan itu tertuju pada sebuah kota di sebelah tenggara Makkah—Tha’if.
Tha’if: Kota Harapan yang Berubah Menjadi Luka
Tha’if adalah kota yang cukup makmur, dihuni oleh suku Tsaqif, salah satu suku yang berpengaruh di jazirah Arab. Kota ini terkenal dengan tanahnya yang subur dan kebun-kebun anggurnya yang luas.
Dalam perjalanan ini, Rasulullah tidak sendirian. Ia ditemani oleh Zaid bin Haritsah, anak angkat yang selalu setia mendampingi beliau.
Dengan langkah penuh harapan, Rasulullah tiba di Tha’if dan langsung menemui tiga orang pemuka suku Tsaqif:
- Abdu Yalil bin Amr
- Mas’ud bin Amr
- Habib bin Amr
Dengan penuh kelembutan, Rasulullah mengajak mereka kepada Islam.
“Wahai kaum Tsaqif, aku membawa pesan dari Allah, ajakan kepada tauhid dan kebaikan. Aku berharap kalian bisa mendengarkan dakwah ini dan menolongku menghadapi Quraisy.”
Namun, tanggapan mereka sangat mengecewakan.
Salah satu dari mereka berkata dengan nada mengejek, “Kalau Allah benar-benar mengutusmu sebagai nabi, mengapa Dia tidak memilih orang yang lebih kuat dari dirimu?”
Yang lain tertawa dan berkata, “Jangan sampai aku berbicara denganmu! Jika engkau benar-benar nabi, aku takut akan mendapat hukuman jika menolakmu. Tapi jika engkau hanya seorang pembohong, berbicara denganmu hanya membuang-buang waktu!”
Dan yang ketiga menambahkan dengan sinis, “Kalau aku membenarkanmu, itu sama saja aku merobek-robek kain Ka’bah!”
Mereka tidak hanya menolak dakwah Rasulullah, tetapi juga mempermalukannya.
Namun, penolakan itu hanyalah awal dari penderitaan yang lebih besar.
Dilempari Batu, Dihina, dan Dikejar-kejar
Tidak cukup dengan mengusir Rasulullah, para pemuka Tha’if menghasut masyarakat untuk menyerangnya.
Mereka mengumpulkan para pemuda dan budak-budak kota, lalu memerintahkan mereka untuk mengejek, mencemooh, dan melempari Rasulullah dengan batu.
Dengan hinaan dan tawa kasar, mereka meneriakkan,
“Keluar dari kota kami, wahai pembohong!”
Rasulullah dan Zaid mencoba berjalan secepat mungkin, tetapi hujan batu terus menghujani mereka.
Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah dengan tubuhnya, tetapi tetap saja luka-luka mulai bermunculan di badan Rasulullah.
Darah mengalir dari kaki beliau. Sandal beliau penuh dengan bercak merah. Namun, beliau tidak membalas, tidak berteriak, tidak marah.
Dengan penuh kesabaran, Rasulullah terus berjalan hingga akhirnya mereka tiba di sebuah kebun milik Utbah dan Syaibah, dua saudara dari suku Quraisy.
Di sanalah Rasulullah duduk di bawah sebuah pohon anggur, tubuhnya penuh luka, tetapi hatinya tetap tegar.
Doa yang Menggetarkan Langit
Di tengah kelelahan dan kepedihan itu, Rasulullah mengangkat tangannya ke langit dan berdoa:
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu kelemahan diriku, kurangnya dayaku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkaulah Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkaulah Rabbku. Kepada siapa Engkau menyerahkanku? Kepada orang jauh yang menyerangku? Atau kepada musuh yang menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Tetapi maaf-Mu lebih luas bagiku.”
Doa itu begitu dalam. Ia tidak meminta balasan untuk penduduk Tha’if. Ia tidak mengeluh tentang perlakuan mereka. Ia hanya berserah kepada Allah.
Dan Allah mendengar doa itu.
Malaikat Gunung dan Tawaran Menghancurkan Tha’if
Ketika Rasulullah sedang duduk dalam kesedihan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang bersama Malaikat Gunung.
Jibril berkata, “Wahai Muhammad, Allah telah mendengar perlakuan mereka terhadapmu. Jika engkau menghendaki, malaikat ini akan membalikkan dua gunung di sekitar Tha’if dan menghancurkan mereka semua!”
Sebuah tawaran yang sangat menggoda. Rasulullah bisa membalas kejahatan mereka dengan azab yang dahsyat.
Namun, Rasulullah SAW hanya tersenyum lemah dan berkata,
“Jangan. Aku berharap bahwa dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang beriman kepada Allah.”
Subhanallah. Betapa luas kasih sayangnya. Bahkan setelah disiksa dan dihinakan, beliau masih memikirkan masa depan mereka.
Hadiah dari Allah: Kisah Addas, Pemuda Nashrani
Di kebun itu, ada seorang budak bernama Addas, seorang pemuda Nasrani dari Ninawa.
Melihat keadaan Rasulullah, ia merasa iba.
Tuan-tuan Quraisynya, Utbah dan Syaibah, menyuruhnya membawa setangkai anggur untuk Rasulullah.
Ketika Rasulullah menerima anggur itu, beliau mengucapkan, “Bismillah.”
Addas terkejut. Ia belum pernah mendengar ada orang Arab yang mengucapkan nama Allah sebelum makan.
“Dari mana engkau berasal?” Rasulullah bertanya.
“Aku dari Ninawa,” jawab Addas.
Rasulullah tersenyum dan berkata, “Itu adalah negeri dari saudara seimanku, Nabi Yunus bin Matta.”
Mata Addas membelalak. “Bagaimana engkau tahu tentang Yunus? Tidak ada orang di sini yang mengenalnya!”
Rasulullah menjawab, “Dia adalah seorang nabi seperti aku. Dia diutus oleh Allah seperti aku.”
Mendengar ini, Addas langsung bersimpuh dan mencium tangan serta kaki Rasulullah.
Ia tahu bahwa di hadapannya bukanlah orang biasa, melainkan seorang utusan Tuhan.
Kembali ke Makkah dengan Luka, tapi dengan Harapan
Setelah kejadian ini, Rasulullah dan Zaid kembali ke Makkah. Perjalanan pulang terasa lebih berat, tetapi hatinya lebih ringan.
Tha’if telah menolaknya, tetapi Allah tidak pernah meninggalkannya.
Perjalanan ini mengajarkan Rasulullah bahwa kesabaran dan kelembutan akan selalu mengalahkan kebencian.
Dan di saat-saat tergelap itulah, pertolongan Allah akan datang dengan cara yang tak terduga.
Tak lama setelah ini, Rasulullah akan mendapatkan peristiwa luar biasa yang akan mengubah jalannya dakwah selamanya—Isra’ dan Mi’raj.
(Bersambung ke Seri 17 – Isra’ dan Mi’raj: Perjalanan Agung ke Langit)