Kabar Gembira dari Langit
Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Malam di Makkah terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit bertabur bintang, angin lembut berbisik di antara rumah-rumah suku Quraisy. Di sebuah rumah sederhana, seorang wanita bernama Aminah binti Wahab duduk termenung. Tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada sesuatu yang berbeda dalam kehamilannya kali ini—sesuatu yang membuat hatinya bergetar antara bahagia dan takjub.
Sejak awal kehamilannya, Aminah sering mengalami mimpi-mimpi aneh. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya keluar dari dirinya, menerangi seluruh penjuru Makkah hingga mencapai negeri Syam. Dalam mimpi yang lain, seorang suara lembut berkata kepadanya, “Engkau mengandung seorang pemimpin umat ini. Namakanlah ia Muhammad.”
Aminah tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, telah pergi jauh sebelum ia bisa berbagi kebahagiaan ini. Abdullah, pria yang dikenal karena ketampanan dan kelembutannya, meninggalkan Makkah untuk berdagang ke Syam. Namun, dalam perjalanan pulang, ia jatuh sakit di Yatsrib (Madinah) dan menghembuskan napas terakhirnya di rumah saudara-saudaranya dari Bani Najjar.
Kabar duka itu menghantam Aminah seperti kilat di siang bolong. Ia kehilangan suaminya bahkan sebelum anak mereka lahir. Kini, ia harus menjalani kehamilan seorang diri, mengandung seorang anak yatim yang tak pernah sempat melihat wajah ayahnya.
Hari demi hari berlalu. Saat bulan Rabi’ul Awal tiba, Makkah masih dalam kesibukan rutinnya. Namun, pada malam ke-12, sesuatu yang luar biasa terjadi. Udara terasa lebih sejuk, langit tampak lebih terang dari biasanya, dan sebuah ketenangan aneh menyelimuti kota.
Di saat yang sama, di rumah sederhana itu, suara tangis bayi pecah. Aminah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Ia menatap bayi itu dengan penuh kasih, merasakan kehangatan yang luar biasa mengalir ke dalam hatinya. Ia ingat pesan dalam mimpinya, lalu dengan penuh keyakinan, ia membisikkan nama itu di telinga kecil anaknya.
“Muhammad…”
Di luar sana, tanda-tanda kebesaran pun muncul. Dikisahkan bahwa pada malam itu, api yang telah menyala ribuan tahun di Persia tiba-tiba padam. Danau Sawah yang menjadi kebanggaan bangsa Persia tiba-tiba mengering. Langit dan bumi seolah bersatu dalam menyambut kelahiran seorang manusia yang kelak akan mengubah dunia.
Keesokan harinya, berita tentang kelahiran Muhammad menyebar di kalangan keluarga Bani Hasyim. Abdul Muthalib, sang kakek yang sangat dihormati, bergegas datang ke rumah Aminah. Saat melihat cucunya, hatinya dipenuhi kebanggaan. Dengan tangan bergetar, ia mengangkat bayi itu, membawanya ke dalam Ka’bah, dan berdoa kepada Allah dengan penuh syukur.
Di hadapan Ka’bah yang suci, Abdul Muthalib mengumumkan kepada suku Quraisy, “Namanya adalah Muhammad, yang terpuji.”
Nama itu terdengar asing bagi penduduk Makkah. Jarang sekali orang Arab menamai anaknya dengan nama seperti itu. Mereka bertanya, “Mengapa engkau menamainya Muhammad?”
Abdul Muthalib tersenyum. “Agar dia menjadi orang yang terpuji di langit dan di bumi,” jawabnya penuh keyakinan.
Tak ada yang tahu bahwa bayi kecil yang tidur tenang dalam pelukan ibunya itu kelak akan membawa cahaya bagi dunia. Saat ini, ia hanyalah seorang anak yatim, namun di masa depan, namanya akan disebut-sebut di setiap sudut dunia, setiap hari, setiap detik, dalam lantunan adzan dan doa.
(Bersambung ke Seri 3 – Diasuh di Padang Pasir)