Oleh : Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Kemenangan gemilang di Perang Badar menjadi pukulan telak bagi kaum Quraisy.
Nama kaum Muslim kini mulai diperhitungkan di Jazirah Arab.
Namun, kemenangan itu juga membangkitkan amarah kaum Quraisy.
Mereka merasa harga diri mereka diinjak-injak.
Para pemimpin Quraisy yang selamat bersumpah untuk membalas dendam.
Mereka tidak akan berhenti sampai Muhammad dan para pengikutnya dihancurkan.
Maka, setahun setelah Perang Badar, mereka mulai menyusun pasukan dalam jumlah besar.
Kali ini, tujuan mereka jelas:
Menyerang Madinah dan menghabisi Islam selamanya.
Persiapan Kaum Quraisy
Kaum Quraisy mengerahkan 3.000 pasukan, jauh lebih banyak dibandingkan Perang Badar.
Mereka membawa 200 pasukan berkuda dan 700 prajurit bersenjata lengkap.
Pemimpin mereka, Abu Sufyan, menyusun strategi dengan matang.
Bahkan, mereka mengajak para wanita untuk ikut serta dalam perang ini.
Di antaranya Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan.
Hindun sangat membenci Rasulullah dan kaum Muslim, terutama karena ayahnya, Utbah, dibunuh oleh Hamzah dalam duel di Badar.
Ia bersumpah akan membalas dendam.
Dengan kekuatan sebesar ini, pasukan Quraisy berangkat menuju Madinah.
Strategi Rasulullah
Ketika Rasulullah mendengar berita tentang pasukan Quraisy yang mendekat, beliau segera mengumpulkan para sahabat.
Beliau bertanya, “Haruskah kita bertahan di dalam Madinah atau keluar menghadapi mereka?”
Sebagian sahabat senior, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul—pemimpin kaum munafik—mengusulkan agar bertahan di dalam kota.
Namun, sebagian besar para sahabat muda dan para veteran Perang Badar bersemangat untuk bertempur di luar Madinah.
Mereka ingin menunjukkan keberanian mereka.
Mendengar semangat para sahabat, Rasulullah akhirnya memutuskan untuk keluar dan menghadapi Quraisy di luar kota.
Beliau memilih lokasi di dekat Gunung Uhud, sekitar 5 km dari Madinah.
Di sana, beliau menyusun strategi perang.
Strategi di Bukit Pemanah
Rasulullah menempatkan 50 pemanah terbaik di atas Bukit Rumat—sebuah bukit kecil di dekat medan perang.
Beliau memberikan perintah tegas:
“Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan posisi kalian! Jika kalian melihat kami menang, jangan turun. Jika kalian melihat kami kalah, jangan turun. Tetaplah di tempat kalian!”
Para pemanah mengangguk, siap menjalankan tugas mereka.
Mereka tahu bahwa posisi mereka sangat penting untuk melindungi pasukan Muslim dari serangan belakang.
Dengan strategi ini, pasukan Muslim yang hanya berjumlah 700 orang siap menghadapi 3.000 pasukan Quraisy.
Awal Pertempuran: Kemenangan di Tangan Muslim
Ketika perang dimulai, pasukan Muslim bertarung dengan gagah berani.
Hamzah bin Abdul Muttalib, singa Allah, berperang dengan penuh keberanian, menebas musuh-musuhnya satu per satu.
Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Mush’ab bin Umair juga bertempur dengan luar biasa.
Pasukan Quraisy mulai terdesak mundur.
Banyak prajurit mereka yang tewas, dan akhirnya mereka melarikan diri.
Melihat ini, kaum Muslim bersorak.
Mereka yakin bahwa kemenangan ada di tangan mereka!
Namun, di atas Bukit Rumat, para pemanah mulai ragu.
Mereka melihat pasukan Quraisy kabur, meninggalkan harta benda di medan perang.
Beberapa pemanah berkata, “Kita sudah menang! Rasulullah pasti mengizinkan kita turun!”
Namun, pemimpin mereka, Abdullah bin Jubair, memperingatkan, “Ingat perintah Rasulullah! Jangan turun!”
Sayangnya, kebanyakan pemanah tidak mendengarkan.
Sebagian besar mereka turun dari bukit untuk mengumpulkan harta rampasan.
Balasan dari Khalid bin Walid
Saat itulah kesempatan emas muncul bagi Quraisy.
Seorang jenderal Quraisy yang jenius, Khalid bin Walid, memperhatikan celah ini.
Bersama pasukan berkudanya, ia berputar ke belakang bukit dan menyerang dari arah belakang.
Para pemanah yang tersisa di Bukit Rumat kaget dan akhirnya terbunuh.
Pasukan Muslim yang sedang sibuk mengumpulkan harta tidak menyadari bahwa mereka kini dikepung.
Kekalahan yang Menyakitkan
Tiba-tiba, keadaan berubah drastis.
Pasukan Quraisy kembali menyerang dengan kekuatan penuh.
Pasukan Muslim terpecah belah, panik, dan mulai tercerai-berai.
Bahkan, Rasulullah sendiri dalam bahaya.
Seorang prajurit Quraisy berhasil melempar batu ke arah beliau.
Wajah Rasulullah berdarah.
Gigi beliau patah.
Topi baja yang beliau pakai terhujam ke dalam pipi beliau.
Para sahabat segera melindungi Rasulullah.
Sementara itu, Hamzah bin Abdul Muttalib bertarung mati-matian.
Namun, dari kejauhan, Hindun telah menyewa seorang budak bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah.
Wahsyi, yang ahli melempar tombak, menunggu momen yang tepat.
Saat Hamzah bertarung, Wahsyi melempar tombaknya tepat ke perut Hamzah.
Hamzah tersungkur.
Ia gugur sebagai syahid.
Setelah perang, Hindun datang ke jasad Hamzah dan mencabik-cabik tubuhnya.
Ia bahkan mengunyah hati Hamzah, sebagai simbol balas dendam atas kematian ayahnya.
Akhir Perang Uhud
Setelah pertempuran yang kacau ini, pasukan Muslim kembali berkumpul dan bertahan di atas bukit.
Kaum Quraisy tidak mengejar mereka lebih jauh.
Setelah merasa cukup dengan balas dendam mereka, pasukan Quraisy akhirnya meninggalkan medan perang.
Di Perang Uhud, kaum Muslim kehilangan 70 sahabat terbaik.
Sementara itu, dari pihak Quraisy, hanya 22 orang yang tewas.
Kekalahan ini menjadi pelajaran berharga bagi kaum Muslim.
Mereka menyadari bahwa ketidakpatuhan terhadap perintah Rasulullah bisa berakibat fatal.
Namun, Rasulullah tidak menyalahkan para sahabatnya.
Beliau tetap membangun kembali semangat mereka.
Perang Uhud bukanlah akhir dari perjuangan Islam.
Justru dari kekalahan ini, muncul tekad yang lebih besar.
Sebab, Quraisy belum mengakhiri perlawanan mereka.
Mereka akan datang kembali dengan kekuatan yang lebih besar.
Dan kali ini, Madinah dalam ancaman serius.
(Bersambung ke Seri 24 – Perang Khandaq: Benteng Terakhir Madinah)