Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Angin gurun bertiup lembut di malam itu. Rasulullah SAW berdiri di depan tenda perkemahan, memandang ke arah Makkah yang terang benderang di kejauhan.
Hati beliau dipenuhi rasa syukur.
Setelah bertahun-tahun diusir, dicaci, dan diperangi oleh kaum Quraisy, kini saatnya beliau kembali ke tanah kelahirannya.
Namun, bukan dengan pedang yang terhunus, melainkan dengan kasih sayang dan pengampunan.
Inilah Fathu Makkah—Pembebasan Makkah, kemenangan terbesar dalam sejarah Islam.
Dan semua ini terjadi tanpa pertumpahan darah.
Janji yang Dilanggar: Alasan Rasulullah Menuju Makkah
Sebelumnya, kaum Muslimin dan Quraisy telah menandatangani Perjanjian Hudaibiyah.
Salah satu isinya adalah gencatan senjata selama 10 tahun.
Namun, dua tahun setelah perjanjian itu, Bani Bakr—sekutu Quraisy—melanggar kesepakatan.
Mereka menyerang Bani Khuza’ah, yang merupakan sekutu kaum Muslimin.
Quraisy membiarkan dan bahkan membantu serangan itu.
Pemimpin Bani Khuza’ah segera melarikan diri ke Madinah dan memohon bantuan Rasulullah.
Setelah mendengar laporan itu, Rasulullah segera mengambil keputusan.
“Wahai kaum Muslimin, saatnya kita menuju Makkah!”
Namun, ini bukan perang balas dendam.
Rasulullah tidak ingin ada pertumpahan darah.
Beliau ingin Makkah ditaklukkan dengan perdamaian dan kasih sayang.
10.000 Pasukan Menuju Makkah
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, 10.000 pasukan Muslim bergerak bersama menuju Makkah.
Kaum Muslimin yang dulu lemah dan teraniaya, kini telah menjadi kekuatan besar.
Namun, Rasulullah tetap rendah hati.
Sepanjang perjalanan, beliau tidak menunjukkan kesombongan sedikit pun.
Beliau berdoa, memohon pertolongan Allah agar pembebasan ini terjadi tanpa peperangan.
Di tengah perjalanan, kaum Muslimin membuat perkemahan besar.
Malam itu, ribuan api unggun menyala, menerangi padang pasir.
Ketika Abu Sufyan—pemimpin Quraisy—melihatnya, ia terkejut dan gemetar.
“Pasukan siapa ini?” tanyanya.
Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah, lalu berkata,
“Ini pasukan Muhammad. Besok, Makkah akan ditaklukkan!”
Abu Sufyan merasa tak ada harapan lagi bagi Quraisy.
Ia lalu menemui Rasulullah dengan penuh ketakutan.
Namun, yang ia temukan bukanlah pemimpin kejam yang haus darah, melainkan seorang nabi yang penuh kasih sayang.
“Wahai Abu Sufyan, apakah kau masih ragu bahwa hanya ada satu Tuhan?”* tanya Rasulullah.
Dengan wajah tertunduk, Abu Sufyan menjawab,
“Demi Allah, aku sekarang tahu tidak ada Tuhan selain Allah.”
Kemudian Rasulullah berkata,
“Besok, siapa pun yang masuk ke dalam rumahmu, dia aman. Siapa pun yang masuk ke dalam Masjidil Haram, dia aman. Siapa pun yang menutup pintu rumahnya, dia aman.”
Abu Sufyan pun bergegas kembali ke Makkah dan mengumumkan hal itu.
Warga Makkah takut, tetapi juga merasa lega.
Mereka tahu, Rasulullah bukan datang untuk membalas dendam.
Rasulullah Memasuki Makkah dengan Penuh Tawadhu
Keesokan harinya, pasukan Muslim memasuki Makkah dari berbagai penjuru.
Rasulullah tidak menunggang kuda dengan gagah, tidak mendongakkan kepala dengan sombong.
Beliau menundukkan kepala, hampir menyentuh pelana untanya, sebagai tanda rendah hati dan syukur.
Di hadapan Ka’bah, Rasulullah berhenti.
Dengan suara yang tenang tetapi penuh wibawa, beliau berkata:
“Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Warga Makkah terdiam.
Mereka ingat bagaimana dulu mereka menyiksa dan mengusir Rasulullah.
Namun kini, beliau berdiri di hadapan mereka sebagai pemenang.
Dengan suara gemetar, mereka berkata,
“Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Saat itulah Rasulullah mengucapkan kata-kata yang menggema dalam sejarah:
“Pergilah, kalian semua bebas!”
Tak ada pembalasan dendam.
Tak ada hukuman bagi mereka yang dulu pernah menindas beliau.
Inilah Islam.
Inilah rahmat Allah yang nyata.
Pembersihan Ka’bah dari Berhala
Setelah itu, Rasulullah memasuki Ka’bah.
Di dalamnya, terdapat 360 berhala.
Dengan tongkatnya, beliau menjatuhkan satu per satu sambil membaca:
“Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan pasti lenyap.” (QS. Al-Isra: 81)
Satu per satu, berhala hancur berkeping-keping.
Hari itu, Ka’bah dibersihkan dari segala kesyirikan.
Kini, tempat suci itu hanya digunakan untuk menyembah Allah semata.
Pengampunan bagi Semua, Kecuali…
Meski Rasulullah memaafkan seluruh warga Makkah, ada beberapa orang yang tetap dihukum.
Mereka adalah orang-orang yang sangat kejam terhadap kaum Muslimin.
Namun, beberapa di antaranya akhirnya bertaubat dan diterima oleh Rasulullah.
Di antara mereka adalah Hindun, istri Abu Sufyan, yang dulu membunuh dan mencabik-cabik jenazah Hamzah, paman Rasulullah.
Ketika ia datang dengan wajah tertutup dan berkata,
“Ya Rasulullah, aku ingin masuk Islam. Apakah kau akan menerimaku?”
Rasulullah menjawab,
“Islam menghapus semua dosa di masa lalu.”
Hindun pun diterima sebagai Muslimah.
Hari Kemenangan dan Hari Kerendahan Hati
Hari itu adalah hari kemenangan besar bagi Islam.
Namun, tak ada pesta pora, tak ada kesombongan.
Semua terjadi dengan pengampunan dan kasih sayang.
Hari itu, Makkah bukan ditaklukkan dengan pedang, tetapi dengan hati yang lembut dan penuh cinta.
Inilah Islam.
Dan inilah Rasulullah SAW, manusia paling mulia yang pernah berjalan di muka bumi.
(Bersambung ke Seri 28 – Haji Wada’: Perpisahan yang Menggetarkan Hati)