LANGIT Makkah berwarna jingga keemasan ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin gurun berembus lembut, membawa kesyahduan yang mendalam.
Di tengah lautan manusia yang berhaji, Nabi Muhammad SAW berdiri di atas Jabal Rahmah, di Padang Arafah.
Suara beliau menggema ke seluruh penjuru, menembus hati setiap orang yang mendengarnya.
Inilah khutbah terakhir Rasulullah.
Inilah Haji Wada’—haji perpisahan.
Dan tak ada yang tahu… bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka dengan kekasih Allah di dunia ini.
Perjalanan Menuju Haji Wada’
Tahun ke-10 Hijriyah, Rasulullah mengumumkan niatnya untuk menunaikan haji.
Berita itu segera menyebar ke seluruh Jazirah Arab.
Mendengar kabar ini, ribuan umat Islam dari berbagai suku berbondong-bondong datang ke Madinah.
Mereka ingin melihat dan belajar langsung dari Rasulullah.
Pada bulan Dzulqa’dah, Rasulullah bersiap berangkat.
Beliau mengenakan pakaian ihram, penuh kesederhanaan.
Di sepanjang perjalanan, Rasulullah mengajarkan tata cara haji yang benar.
Tak ada kemewahan, tak ada kesombongan.
Hanya seorang pemimpin agung yang rendah hati, berjalan bersama umatnya.
Setibanya di Makkah, Rasulullah langsung menuju Ka’bah untuk melakukan thawaf.
Beliau berdoa di Multazam, minum air zamzam, lalu melanjutkan sa’i di antara Shafa dan Marwah.
Setiap gerakan dan doa beliau diikuti ribuan orang dengan penuh cinta dan ketakjuban.
Hari yang Paling Agung: Wukuf di Arafah
9 Dzulhijjah, hari itu datang.
Hari wukuf di Arafah—hari yang paling agung dalam Islam.
Di atas Jabal Rahmah, Rasulullah berdiri di atas unta Qashwa’ dan mulai menyampaikan khutbah yang penuh makna.
“Wahai manusia, dengarkan perkataanku, karena aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kalian di tempat ini setelah tahun ini.”
Suasana berubah sunyi.
Para sahabat tertegun.
Ada sesuatu dalam suara Rasulullah hari itu. Lembut, tapi berat.
Seakan-akan, beliau sedang berpamitan.
“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci, sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, di negeri ini.”
“Ingatlah, segala urusan jahiliyah telah dihapus. Tidak ada lagi riba. Tidak ada lagi penindasan.”
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Berlaku baiklah kepada mereka, karena mereka adalah amanah bagi kalian.”
Lalu, dengan suara yang tegas namun menggetarkan jiwa, beliau berkata:
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku.”
Air mata mulai mengalir di wajah para sahabat.
Mereka mulai memahami… ini adalah perpisahan.
Lalu, Rasulullah mengakhiri khutbahnya dengan sebuah pertanyaan yang membuat hati bergetar:
“Wahai manusia, bukankah aku telah menyampaikan risalah ini?”
Serempak, lautan manusia menjawab,
“Iya, wahai Rasulullah!”
Rasulullah lalu mengangkat jari telunjuknya ke langit dan bersabda,
“Ya Allah, saksikanlah… Ya Allah, saksikanlah… Ya Allah, saksikanlah!”
Saat itulah, di tengah keheningan yang mencekam, turunlah wahyu yang membuat hati Rasulullah bergetar:
“Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Saat ayat ini turun, Abu Bakar menangis tersedu-sedu.
Ia sadar… tidak ada lagi wahyu setelah ini.
Misi Rasulullah telah selesai.
Dan itu berarti… waktu beliau di dunia ini hampir habis.
Tanda-Tanda Perpisahan
Setelah haji, Rasulullah kembali ke Madinah.
Namun, sejak itu, beliau sering berkata hal-hal yang mengisyaratkan kepergian beliau.
Suatu hari, beliau berdiri di pemakaman Baqi’ dan berkata kepada para sahabat,
“Aku rindu bertemu saudara-saudaraku.”
Para sahabat bertanya,
“Bukankah kami saudara-saudaramu, ya Rasulullah?”
Beliau tersenyum dan berkata,
“Kalian adalah sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang akan datang setelahku dan beriman kepadaku tanpa pernah melihatku.”
Lalu, dalam salah satu khutbahnya, Rasulullah berkata,
“Allah telah memberikan pilihan kepadaku: hidup abadi di dunia atau bertemu dengan-Nya. Dan aku memilih bertemu dengan-Nya.”
Mendengar ini, tangis Abu Bakar pecah.
Ia tahu… saat itu sudah dekat.
Perpisahan yang Menggetarkan Jiwa
Tak lama setelah itu, Rasulullah jatuh sakit.
Suhu tubuh beliau sangat tinggi.
Namun, dalam keadaan sakit pun, beliau tetap shalat berjamaah di masjid.
Hingga suatu hari, beliau tak lagi sanggup berdiri.
Beliau meminta Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam.
Hari demi hari berlalu, penyakit beliau semakin parah.
Namun, di hari-hari terakhirnya, beliau masih sempat keluar dari kamar, tersenyum melihat para sahabat yang sedang shalat.
Itulah senyum perpisahan.
Senyum terakhir kekasih Allah di dunia ini.
(Bersambung ke Seri 29 – Detik-detik Wafatnya Rasulullah: Kepergian yang Menyisakan Kerinduan)