Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Langit Madinah terasa berat, seolah ikut menanggung kesedihan yang menyelimuti rumah kecil di samping Masjid Nabawi. Rasulullah SAW terbaring lemah di pangkuan Aisyah, tubuhnya panas, napasnya semakin pendek, dan wajahnya pucat.
Hari itu, 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah, hari yang akan dikenang selamanya.
Hari-hari Terakhir Rasulullah
Sakit Rasulullah semakin parah. Demam tinggi melanda tubuh beliau, membuatnya sulit berdiri.
Namun, meskipun dalam keadaan lemah, beliau masih berusaha keluar menemui para sahabat.
Pada suatu hari, beliau dibantu oleh Fadhl bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib untuk berjalan ke masjid.
Saat melihat wajah beliau, para sahabat yang sedang shalat jamaah merasa lega.
Rasulullah tersenyum lemah…
Itulah senyum terakhir beliau untuk umatnya.
Setelah shalat, beliau kembali ke kamar Aisyah.
Di sanalah, beliau menghabiskan detik-detik terakhirnya.
Pagi yang Menenangkan, Harapan yang Bersemi
Pada pagi hari 12 Rabiul Awal, Rasulullah tiba-tiba terlihat lebih segar.
Wajahnya bersinar, seolah kesehatannya membaik.
Melihat hal itu, para sahabat merasa lega.
Rasulullah bahkan sempat membuka tirai kamarnya dan melihat mereka yang sedang shalat Subuh.
Beliau tersenyum…
Senyuman yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Lalu, beliau kembali berbaring di pangkuan Aisyah.
Namun, tanpa ada yang menyadari… itulah pagi terakhir Rasulullah.
Malaikat Maut Datang Menjemput
Di kamar kecil itu, Rasulullah tiba-tiba menatap ke langit.
Matanya menerawang jauh, seolah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh manusia lain.
Aisyah melihat bibir beliau bergerak pelan.
“Bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat, wahai Allah… Bersama para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin… Ya Allah, ampunilah aku… Sayangilah aku… Perkenankanlah aku bertemu dengan-Mu…”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aisyah.
Ia sadar… inilah saatnya.
Lalu, Rasulullah memandang Aisyah dan berkata,
“Aisyah… aku merasakan sakaratul maut begitu berat.”
Aisyah menangis…
Ia mengambil air dan membasahi wajah Rasulullah dengan lembut.
Namun, Rasulullah tetap merasakan kesakitan yang luar biasa.
Beliau lalu meletakkan tangannya di dalam bejana berisi air dingin dan mengusapkannya ke wajah.
Dengan suara pelan, beliau berbisik:
“La ilaha illallah… Sungguh, kematian itu penuh sakarat.”
Lalu…
Tiba-tiba, Rasulullah terdiam.
Matanya kembali menerawang ke langit.
Aisyah merasakan tubuh Rasulullah semakin berat di pangkuannya.
Dan saat itulah, datanglah Malaikat Maut.
“Wahai Rasulullah, Allah telah merindukanmu.”
Jibril yang ikut hadir dalam ruangan itu berkata,
“Wahai Muhammad, ini saat perpisahan. Jika engkau memilih dunia, engkau masih bisa hidup. Jika engkau memilih Allah, maka saatnya engkau pergi.”
Senyum terukir di wajah Rasulullah.
Dengan suara yang lemah, beliau berkata:
“Aku memilih Allah… Aku memilih Rafiqul A’la (Teman Tertinggi).”
Dan dengan itu…
Rasulullah menutup matanya.
Tubuhnya menjadi ringan.
Napasnya berhenti.
Kekasih Allah telah kembali kepada-Nya.
Tangisan yang Mengguncang Madinah
Aisyah mengguncang tubuh Rasulullah.
“Ya Rasulullah…?”
Tak ada jawaban.
Air matanya jatuh, membasahi pipi Rasulullah yang kini tak lagi bergerak.
Lalu, ia berteriak,
“Rasulullah telah wafat!”
Seluruh Madinah terguncang.
Berita kematian Rasulullah menyebar begitu cepat.
Para sahabat menangis tersedu-sedu.
Di masjid, Umar bin Khattab menghunus pedangnya.
Dengan suara bergetar, ia berkata,
“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad telah wafat, aku akan penggal kepalanya! Beliau hanya pingsan! Sebentar lagi beliau akan bangun!”
Namun, Abu Bakar masuk ke kamar Rasulullah.
Ia melihat wajah sahabatnya itu…
Dan ia tahu…
Rasulullah benar-benar telah tiada.
Ia mencium kening beliau dan berbisik,
“Duhai Rasulullah, betapa indahnya hidup bersamamu, betapa beratnya perpisahan ini… Dan betapa bahagianya kita nanti bertemu lagi di surga.”
Lalu, Abu Bakar keluar dan berkata dengan suara lantang,
“Wahai manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat! Tetapi barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati!”
Lalu, ia membaca ayat Al-Qur’an:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu akan berbalik ke belakang?” (QS. Ali ‘Imran: 144)
Saat itu juga, Umar terjatuh.
Kakinya lemas.
Ia akhirnya menerima kenyataan bahwa Rasulullah telah pergi untuk selamanya.
Malam yang Sepi, Kota yang Berduka
Malam itu, Madinah terasa lebih sunyi dari biasanya.
Para sahabat menggali makam untuk Rasulullah di dalam kamar Aisyah.
Di tengah kesedihan yang mendalam, mereka menurunkan jasad beliau ke dalam liang lahad dengan penuh kehormatan dan cinta.
Abu Bakar, Umar, Ali, dan beberapa sahabat lainnya turun ke liang lahat dan meletakkan tubuh Rasulullah di sana.
Lalu, perlahan…
Mereka menutup makam itu dengan tanah.
Dan saat itu…
Dunia terasa kehilangan cahaya.
Namun, meskipun Rasulullah telah wafat, cahaya risalahnya tetap bersinar.
Islam terus berkembang, menyebar ke seluruh penjuru dunia, membawa rahmat bagi seluruh alam.
Karena Rasulullah bukan hanya seorang manusia…
Beliau adalah utusan Allah.
Dan warisannya akan kekal… hingga akhir zaman.
(Bersambung ke Seri 30 – Warisan Abadi Rasulullah: Cahaya yang Tak Pernah Padam)