Diasuh di Padang Pasir
Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Matahari bersinar terik di atas langit Makkah. Di tengah hiruk-pikuk kota suci itu, sekelompok wanita dari Bani Sa’ad tiba dengan unta-unta mereka. Para wanita ini adalah ibu susu, perempuan yang mencari bayi untuk mereka rawat sebagai anak asuh. Sudah menjadi tradisi di kalangan suku Quraisy, bayi-bayi bangsawan akan diasuh oleh para wanita dari pedalaman.
Hidup di padang pasir yang keras dipercaya dapat membentuk karakter anak-anak mereka—menjadikan mereka tangguh, sehat, dan fasih berbahasa Arab yang murni. Salah satu dari ibu susu itu adalah Halimah binti Abu Dzu’aib, seorang wanita sederhana dari Bani Sa’ad. Ia datang bersama suaminya, Harits, dengan harapan bisa membawa pulang seorang bayi Quraisy yang kelak akan menjadi sumber berkah bagi keluarganya.
Namun perjalanan mereka tidaklah mudah. Keledai yang mereka tunggangi begitu lemah, hampir tak sanggup berjalan. Unta mereka pun nyaris tidak mengeluarkan susu. Sepanjang perjalanan, Halimah hanya bisa mengelus perutnya yang kosong dan melihat wajah suaminya yang letih.
Ketika tiba di Makkah, para ibu susu mulai memilih bayi asuh mereka. Mereka lebih menginginkan bayi dari keluarga kaya, agar mendapatkan imbalan yang besar. Sayangnya, Muhammad kecil adalah seorang yatim. Ayahnya, Abdullah, telah wafat sebelum ia lahir.
Para ibu susu ragu-ragu. Tanpa ayah yang akan membayar mereka dengan hadiah berlimpah, bayi ini bukanlah pilihan yang menarik. Satu per satu mereka menolak Muhammad, mencari bayi lain yang lebih menjanjikan.
Halimah pun awalnya berpikir demikian. Namun, setelah berkeliling Makkah seharian dan tak menemukan bayi lain yang bisa ia bawa pulang, ia mulai ragu. Ia menoleh ke arah Muhammad kecil yang sedang dalam dekapan ibunya, Aminah. Hatinya berdesir. Ada sesuatu dalam wajah bayi itu yang membuatnya ingin mendekat.
Suaminya, Harits, menatapnya dengan penuh pengertian. “Ambillah dia, Halimah. Semoga Allah memberi kita keberkahan.”
Dengan lembut, Halimah mengulurkan tangannya. Saat ia menggendong Muhammad, tiba-tiba dadanya terasa hangat. Perasaan damai menjalar dalam tubuhnya, seperti angin padang pasir yang sejuk di tengah teriknya siang. Ia tersenyum dan berkata kepada Aminah, “Aku akan merawatnya.”
Keputusan itu mengubah segalanya.
Sejak Muhammad kecil dibawa ke rumah Halimah, kehidupan keluarga itu perlahan berubah. Unta mereka yang tadinya kurus tiba-tiba mulai menghasilkan susu yang melimpah. Keledai mereka yang lemah kini berjalan lebih cepat dan kuat. Bahkan, ladang mereka yang kering mulai tumbuh subur. Keberkahan benar-benar hadir di rumah Halimah.
Di padang pasir, Muhammad tumbuh dengan sehat. Halimah menyayanginya lebih dari sekadar anak asuh. Ia mengajarkan Muhammad berbicara dengan bahasa Arab yang fasih, mengajaknya berlarian di padang pasir yang luas, dan membiarkannya menikmati kehidupan sederhana suku Bani Sa’ad.
Namun, suatu hari, sesuatu yang ganjil terjadi. Saat Muhammad bermain dengan saudara-saudara susuannya di padang pasir, tiba-tiba dua pria berpakaian putih turun dari langit. Mereka mendekati Muhammad yang masih kecil, membaringkannya di tanah, lalu membelah dadanya.
Saudaranya yang melihat kejadian itu berlari ketakutan ke rumah dan berteriak, “Muhammad telah dibunuh!”
Halimah bergegas keluar, hatinya berdegup kencang. Ia menemukan Muhammad berdiri dengan wajah pucat, tapi matanya masih bersinar. Saat ia bertanya apa yang terjadi, Muhammad kecil menjawab polos, “Dua orang lelaki datang dan membelah dadaku. Mereka mencuci hatiku dengan air bersih, lalu mengembalikannya.”
Halimah dan suaminya saling berpandangan. Ada sesuatu yang luar biasa pada anak ini. Ia bukan anak biasa. Kejadian itu membuat mereka takut. Mereka merasa bahwa mereka tak akan sanggup menjaga Muhammad lebih lama.
Dengan berat hati, Halimah memutuskan untuk mengembalikan Muhammad kepada ibunya di Makkah.
Aminah menyambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan panjang anaknya.
(Bersambung ke Seri 4 – Perpisahan di Yatsrib)