Senin, Maret 3, 2025
No menu items!

Nabi Muhammad SAW: Cahaya di Tanah Makkah (4)

Must Read

Perpisahan di Yatsrib

Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati

Makkah masih diselimuti cahaya pagi ketika Aminah menatap putranya dengan penuh kasih. Muhammad kecil, yang baru saja kembali dari perkampungan Bani Sa’ad, tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Wajahnya berseri, matanya penuh kehangatan, dan tutur katanya lembut. Sejak Halimah mengembalikannya, Aminah tak pernah lepas memeluk dan merawatnya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kerinduan yang terus mengusik hati Aminah. Ia ingin membawa Muhammad ke Yatsrib, kota tempat suaminya, Abdullah, dimakamkan. Ia ingin memperkenalkan putranya pada keluarga Bani Najjar, kerabat dari garis ayahnya.

Perjalanan itu akhirnya dipersiapkan. Bersama Muhammad yang masih berusia enam tahun, Aminah berangkat ke Yatsrib ditemani seorang pelayan setianya, Ummu Aiman. Kafilah kecil mereka menyusuri jalur perjalanan yang panjang, melewati gurun pasir dan perbukitan tandus.

Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Yatsrib. Kota itu berbeda dari Makkah yang panas dan berbatu. Yatsrib dipenuhi kebun kurma yang hijau, tanahnya lebih subur, dan udaranya lebih sejuk.

Di rumah keluarga Bani Najjar, Muhammad kecil disambut hangat oleh sanak saudaranya. Mereka menggendongnya, menciumnya, dan memberinya hadiah. Selama beberapa waktu di Yatsrib, Muhammad bermain dengan anak-anak lain, berlari di antara pohon kurma, dan menikmati keramahan penduduknya. Ia juga diajak mengunjungi makam ayahnya, Abdullah, tempat di mana ibunya selalu meneteskan air mata rindu.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Saat perjalanan pulang menuju Makkah, Aminah tiba-tiba jatuh sakit. Di suatu tempat bernama Abwa’, tubuhnya melemah, wajahnya pucat, dan nafasnya tersengal-sengal. Muhammad kecil tak mengerti apa yang terjadi. Ia hanya bisa memeluk ibunya yang terbaring lemah di atas pasir.

Aminah menggenggam tangan putranya, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Anakku… Allah telah menakdirkanmu untuk perjalanan yang besar. Jadilah orang yang baik… dan jangan pernah merasa sendirian.”

Setelah kata-kata itu, Aminah mengembuskan napas terakhirnya.

Muhammad kecil menangis, mengguncang tubuh ibunya yang telah membisu. Ummu Aiman pun tak kuasa menahan air matanya. Di tengah hamparan pasir yang sunyi, seorang anak berusia enam tahun kehilangan ibunya.

Dengan hati yang pilu, Ummu Aiman membawa Muhammad kembali ke Makkah. Sepanjang perjalanan, Muhammad hanya diam. Tatapannya kosong, kakinya melangkah tanpa tenaga. Ia tak lagi memiliki ayah, dan kini, ibunya pun pergi meninggalkannya.

Ketika akhirnya tiba di Makkah, kakeknya, Abdul Muthalib, menyambutnya dengan pelukan erat. Lelaki tua itu meneteskan air mata melihat cucunya yang kini benar-benar yatim piatu. Dengan penuh kasih, ia membawa Muhammad ke rumahnya, memeluknya setiap malam, dan menemaninya tidur di dekat Ka’bah.

Namun, cobaan bagi Muhammad kecil belum berakhir. Dua tahun kemudian, Abdul Muthalib yang sangat menyayanginya juga wafat. Sekarang, Muhammad benar-benar sendiri.

Tetapi Allah selalu menjaga hamba-Nya. Setelah kepergian kakeknya, Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, yang kelak akan menjadi pelindungnya dalam perjalanan panjang sebagai utusan Allah.

(Bersambung ke Seri 5Dalam Naungan Abu Thalib)

Ustadz Syaeful Ajak Jamaah Kikis Sifat Khianah untuk Tingkatkan Kesadaran Hamba Allah

JAKARTAMU.COM -- Pada kegiatan malam ke-3 Ramadhan 1446 H di Masjid At Taqwa, PCM Matraman, Kayumanis Jakarta Timur; Tausiyah...

More Articles Like This