Selasa, Maret 4, 2025
No menu items!

Nabi Muhammad SAW: Cahaya di Tanah Makkah (5)

Must Read

Dalam Naungan Abu Thalib

Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati

Makkah masih sama seperti sebelumnya. Kota itu tetap ramai dengan para pedagang yang berlalu-lalang, para penyembah berhala yang memenuhi Ka’bah, dan para bangsawan Quraisy yang hidup dalam kemewahan. Namun, bagi seorang anak laki-laki berusia delapan tahun, dunia telah berubah selamanya.

Muhammad kini benar-benar yatim piatu. Setelah kehilangan ayahnya sebelum lahir, lalu ibunya di perjalanan pulang dari Yatsrib, kini ia harus menerima kenyataan bahwa kakeknya, Abdul Muthalib, yang selama ini menjadi pelindung dan sandarannya, juga telah tiada.

Sebelum wafat, Abdul Muthalib berpesan agar Muhammad diasuh oleh Abu Thalib, salah satu putranya yang paling lembut hati dan memiliki kasih sayang mendalam terhadap keponakannya itu. Tanpa ragu, Abu Thalib menerima amanah tersebut.

Abu Thalib bukanlah orang terkaya di Makkah, tetapi ia adalah salah satu pemuka Quraisy yang disegani. Ia memiliki hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Sejak hari pertama Muhammad tinggal di rumahnya, Abu Thalib memperlakukannya bukan sebagai keponakan, tetapi sebagai anaknya sendiri.

Muhammad kecil tidak pernah menyusahkan pamannya. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan penuh tanggung jawab. Di rumah Abu Thalib, ia terbiasa membantu pekerjaan sehari-hari, mengurus ternak, dan berusaha meringankan beban keluarga.

Meskipun masih muda, Muhammad telah menunjukkan sifat yang berbeda dari anak-anak seusianya. Ia tidak pernah berbohong, tidak pernah mencuri, dan selalu menepati janji. Orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan bahwa anak ini memiliki akhlak yang luar biasa.

Suatu hari, ketika Muhammad berusia sekitar dua belas tahun, Abu Thalib bersiap untuk melakukan perjalanan dagang ke negeri Syam. Sebagai seorang pedagang, ia sering melakukan perjalanan jauh, melintasi padang pasir menuju negeri-negeri yang lebih kaya.

Muhammad, yang selama ini hanya mendengar cerita tentang perjalanan dagang, memohon kepada pamannya agar diizinkan ikut serta. Awalnya, Abu Thalib ragu. Perjalanan ke Syam tidaklah mudah. Panasnya gurun, bahaya para perampok, dan jauhnya jarak bisa menjadi tantangan besar bagi seorang anak.

Namun, Muhammad tidak menyerah. Matanya bersinar penuh harapan, dan Abu Thalib akhirnya luluh.

“Baiklah, keponakanku. Kau akan ikut denganku,” kata Abu Thalib sambil mengusap kepala Muhammad.

Perjalanan dagang ke Syam adalah pengalaman yang luar biasa bagi Muhammad. Ia melihat bagaimana kafilah-kafilah besar bergerak melewati padang pasir, bagaimana para pedagang bernegosiasi, dan bagaimana kehidupan di luar Makkah begitu berbeda.

Namun, ada satu peristiwa yang membuat perjalanan ini lebih istimewa.

Ketika rombongan Abu Thalib tiba di kota Busra, di dekat negeri Syam, mereka bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Pendeta ini telah lama mengamati para pedagang Quraisy yang sering singgah di kota itu. Namun kali ini, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Dari kejauhan, Buhaira memperhatikan Muhammad kecil. Ia melihat ada tanda-tanda yang tidak biasa pada anak itu. Wajahnya bercahaya, dan di atasnya seolah ada bayangan awan yang mengikuti ke mana pun ia pergi.

Pendeta itu mengundang Abu Thalib dan rombongan dagangnya untuk singgah di tempatnya. Saat mereka duduk bersama, Buhaira memperhatikan Muhammad dengan lebih saksama.

“Aku ingin bertanya,” kata Buhaira kepada Abu Thalib, “siapakah anak ini bagimu?”

“Dia keponakanku,” jawab Abu Thalib.

Buhaira terdiam sejenak. Lalu, dengan suara perlahan, ia berkata, “Jagalah dia baik-baik. Anak ini bukan anak biasa. Aku melihat tanda-tanda kenabian pada dirinya.”

Abu Thalib terkejut. Ia tidak memahami sepenuhnya apa yang dimaksud oleh pendeta itu, tetapi kata-katanya begitu kuat.

Setelah kembali dari Syam, Muhammad tumbuh menjadi pemuda yang semakin dikenal karena kejujurannya. Ia mulai berdagang sendiri dan selalu menjaga kepercayaan orang-orang yang berbisnis dengannya. Kejujurannya yang luar biasa membuatnya mendapat gelar Al-Amin, yang artinya “yang terpercaya.”

Namun, perjalanan hidupnya masih panjang. Dan ia belum tahu bahwa suatu hari nanti, ia akan membawa risalah yang akan mengubah dunia.

(Bersambung ke Seri 6Kejujuran yang Mendatangkan Kepercayaan)

Mendikti Brian Minta Dosen Perkuat Riset untuk Keluar dari Middle Income Trap

JAKARTAMU.COM | Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto menekankan pentingnya riset dan inovasi kepada para dosen....

More Articles Like This