Lamaran dari Seorang Wanita Mulia
Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Sejak kepulangannya dari Syam, Muhammad semakin dikenal sebagai pedagang muda yang bukan hanya cerdas dalam berbisnis, tetapi juga memiliki kejujuran yang luar biasa. Gelarnya sebagai Al-Amin semakin kokoh, dan banyak orang Quraisy mulai lebih mempercayainya dalam berbagai urusan, termasuk dalam menyelesaikan perselisihan.
Namun, tanpa ia sadari, ada seseorang yang diam-diam mengagumi pribadinya dari kejauhan. Wanita itu adalah Khadijah binti Khuwailid.
Khadijah bukanlah wanita biasa. Ia berasal dari keluarga terpandang di Quraisy, memiliki kecerdasan yang luar biasa, serta dikenal sebagai saudagar sukses. Meskipun sudah beberapa kali dilamar oleh para pria kaya dan terpandang, Khadijah selalu menolak. Hatinya tidak tertarik pada kekayaan atau status sosial, tetapi pada kebajikan dan karakter yang mulia.
Dan kini, hatinya tertambat pada Muhammad.
Maisarah, pelayan setianya, telah menceritakan semua yang ia lihat selama perjalanan dagang ke Syam. Bagaimana Muhammad jujur dalam berdagang, bagaimana orang-orang menghormatinya, bahkan bagaimana awan seolah menaungi langkahnya di bawah terik matahari. Semua itu semakin meyakinkan Khadijah bahwa Muhammad bukan pemuda biasa.
Namun, bagaimana caranya menyampaikan perasaan ini?
Sebagai wanita, Khadijah tahu bahwa melamar seorang pria bukanlah hal yang lazim dalam tradisi Quraisy. Tetapi hatinya mantap. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersama seseorang yang memiliki akhlak seistimewa Muhammad.
Khadijah lalu mengutarakan isi hatinya kepada sahabat dekatnya, Nafisah binti Muniyah. Dengan penuh kebijaksanaan, Nafisah menawarkan diri untuk menjadi perantara.
Tanpa menunggu lama, Nafisah menemui Muhammad dan mengajaknya berbincang.
“Wahai Muhammad,” katanya lembut, “mengapa engkau belum menikah?”
Muhammad tersenyum, lalu menjawab dengan tenang, “Aku belum memiliki cukup harta untuk menikah.”
Nafisah mengangguk, lalu berkata dengan penuh makna, “Bagaimana jika ada seorang wanita yang cantik, terhormat, kaya, dan memiliki akhlak mulia ingin menikah denganmu? Apakah engkau akan menerimanya?”
Muhammad terdiam sejenak. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.
“Siapakah wanita itu?” tanyanya.
Nafisah tersenyum. “Khadijah binti Khuwailid.”
Muhammad terkejut. Khadijah adalah wanita paling terhormat di Makkah. Ia seorang saudagar sukses, bijaksana, dan dihormati oleh banyak orang. Bagaimana mungkin ia menginginkan dirinya, seorang pemuda yatim yang tidak memiliki kekayaan besar?
Namun, setelah berpikir sejenak, hatinya mulai mempertimbangkan. Khadijah bukan hanya seorang wanita kaya, tetapi juga dikenal memiliki akhlak yang tinggi. Ia adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya dan memiliki kebaikan hati yang luar biasa.
“Aku akan membicarakannya dengan pamanku, Abu Thalib,” jawab Muhammad dengan lembut.
Setelah berdiskusi dengan Abu Thalib, Muhammad akhirnya menerima lamaran itu. Sebagai pemuda yang penuh adab, ia tidak langsung datang sendiri, tetapi mengutus pamannya untuk melamar secara resmi.
Acara lamaran berlangsung dengan penuh kehormatan. Abu Thalib dan keluarga Muhammad datang ke rumah Khadijah, disambut oleh keluarga besar wanita itu. Dalam pertemuan itu, Abu Thalib mengungkapkan maksud kedatangan mereka dengan tutur kata yang penuh kebijaksanaan.
“Keponakanku ini,” kata Abu Thalib, “adalah pemuda yang tidak memiliki banyak harta, tetapi ia memiliki kehormatan dan kejujuran. Jika engkau menerima lamarannya, maka itu adalah sebuah kehormatan bagi keluarga kami.”
Wali Khadijah pun menerima lamaran itu dengan penuh kebahagiaan. Tak lama kemudian, pernikahan pun dilangsungkan dengan sederhana tetapi penuh kebahagiaan.
Khadijah memberikan mahar yang cukup besar kepada Muhammad, tetapi bagi Muhammad, kebahagiaan terbesar bukanlah harta, melainkan memiliki seorang istri yang penuh cinta dan kasih sayang.
Sejak hari itu, Muhammad dan Khadijah hidup bersama dalam rumah tangga yang penuh keberkahan. Khadijah tidak hanya menjadi istri yang setia, tetapi juga menjadi pendukung utama dalam setiap perjalanan hidup Muhammad.
Namun, perjalanan hidup Muhammad masih panjang. Akan datang hari-hari di mana ia harus menghadapi ujian yang lebih besar, dan Khadijah akan menjadi cahaya yang selalu menerangi langkahnya.
(Bersambung ke Seri 8 – Cahaya dalam Rumah Tangga)