Cahaya dalam Rumah Tangga
Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Pernikahan antara Muhammad dan Khadijah bukan hanya sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga titik awal dari kehidupan yang penuh berkah. Rumah tangga mereka menjadi cerminan ketenangan, kebahagiaan, dan kasih sayang. Di tengah masyarakat Quraisy yang sering dipenuhi oleh intrik dan keserakahan, rumah Muhammad dan Khadijah menjadi tempat di mana cinta dan kejujuran selalu bersemayam.
Khadijah bukan hanya seorang istri bagi Muhammad, tetapi juga sahabat, penasihat, dan pendukung setianya. Ia tidak pernah melihat status sosial atau kekayaan sebagai tolok ukur kebahagiaan. Baginya, memiliki suami seperti Muhammad—yang jujur, bertanggung jawab, dan penuh kasih—adalah anugerah terbesar.
Sejak menikah, kehidupan Muhammad menjadi lebih stabil. Dengan dukungan Khadijah, ia semakin berkembang dalam dunia perdagangan. Kejujurannya semakin dikenal, dan banyak orang yang mempercayakan urusan dagang kepadanya. Rezekinya bertambah, tetapi kekayaan tidak mengubah kepribadiannya. Muhammad tetap sederhana, tetap rendah hati, dan tetap membantu siapa pun yang membutuhkan.
Anak-Anak yang Membawa Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam rumah tangga mereka semakin bertambah ketika Khadijah melahirkan anak-anak yang kelak menjadi bagian dari sejarah besar Islam. Anak pertama mereka adalah Qasim, yang lahir dengan wajah tampan dan membawa kebanggaan bagi Muhammad. Karena itulah, Muhammad sering dipanggil Abul Qasim, yang berarti “ayah Qasim.”
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Qasim meninggal dunia saat masih kecil, meninggalkan duka yang mendalam di hati Muhammad dan Khadijah.
Meskipun kehilangan Qasim, Allah masih menganugerahkan mereka anak-anak lain: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Muhammad sangat mencintai putri-putrinya. Ia memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, sesuatu yang tidak lazim di masyarakat Arab saat itu, di mana banyak orang justru menganggap anak perempuan sebagai beban.
Putri bungsunya, Fatimah, memiliki tempat yang sangat istimewa di hatinya. Ia tumbuh menjadi gadis yang cerdas, lembut, dan penuh kepedulian, mewarisi keteguhan hati ibunya dan kebaikan akhlak ayahnya.
Selain keempat putri itu, Muhammad dan Khadijah juga dikaruniai seorang putra lagi, Abdullah, yang juga dikenal sebagai Ath-Thayyib atau Ath-Tahir. Namun, seperti kakaknya, Qasim, Abdullah juga meninggal saat masih kecil.
Kehilangan dua putranya tentu menyakitkan, tetapi Muhammad tidak pernah mengeluh. Ia menerima semua takdir Allah dengan hati yang lapang. Di sampingnya, Khadijah selalu menjadi sumber ketenangan, menguatkan suaminya di setiap ujian yang datang.
Keteladanan dalam Rumah Tangga
Rumah tangga Muhammad dan Khadijah menjadi contoh nyata bagaimana sebuah keluarga dibangun atas dasar cinta, kepercayaan, dan penghormatan. Tidak pernah sekalipun Muhammad bersikap kasar terhadap istrinya. Ia selalu memperlakukan Khadijah dengan penuh kelembutan, membantunya dalam urusan rumah tangga, dan selalu mendahulukan kebahagiaan keluarganya.
Begitu pula Khadijah. Meskipun ia adalah seorang wanita kaya dan terpandang, ia tidak pernah merasa lebih tinggi dari suaminya. Ia mendukung Muhammad dalam segala hal, memastikan bahwa suaminya selalu memiliki tempat untuk beristirahat dan merasa dicintai.
Masyarakat Quraisy yang melihat kehidupan rumah tangga mereka pun kagum. Mereka melihat bagaimana Muhammad tetap setia pada satu wanita, di saat banyak lelaki Quraisy menikahi banyak istri demi status sosial. Mereka melihat bagaimana Khadijah tetap setia dan penuh cinta, di saat banyak wanita Quraisy memilih suami berdasarkan kekayaan semata.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Muhammad mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
Ia mulai sering merenung, mencari makna yang lebih dalam dari kehidupan. Meskipun ia hidup dalam kenyamanan dan dikelilingi oleh cinta, ada sesuatu di luar sana yang membuat hatinya gelisah.
Ia melihat bagaimana masyarakat Quraisy semakin tenggelam dalam keserakahan. Bagaimana orang-orang kaya menindas kaum miskin. Bagaimana para penyembah berhala dengan angkuhnya menguasai Ka’bah dan menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.
Di tengah semua itu, Muhammad merasa ada sesuatu yang salah.
Dan tanpa ia sadari, perjalanan spiritualnya baru saja dimulai.
(Bersambung ke Seri 9 – Kegelisahan di Gua Hira)