Minggu, Maret 9, 2025
No menu items!
spot_img

Nabi Muhammad SAW, Cahaya di Tanah Makkah (9): Kegelisahan di Gua Hira

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati

Makkah terus berjalan seperti biasa—perdagangan ramai, kafilah-kafilah datang dan pergi, para saudagar sibuk menghitung keuntungan, dan para pemimpin Quraisy menikmati kekuasaan mereka. Namun, di tengah kehidupan yang terus berputar itu, ada satu hati yang semakin gelisah.

Muhammad, yang kini telah berusia hampir empat puluh tahun, semakin sering merenung. Kejujuran, kasih sayang, dan keadilan yang selalu ia pegang teguh tampaknya semakin pudar di sekelilingnya. Ia melihat bagaimana orang-orang miskin tertindas, bagaimana perempuan diperlakukan rendah, bagaimana bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib.

Namun yang paling menyakitkan baginya adalah melihat bagaimana manusia menyembah berhala-berhala batu yang mereka buat sendiri. Mereka mempersembahkan makanan, sujud, bahkan berdoa kepada benda mati yang tidak bisa berbicara, tidak bisa melihat, tidak bisa memberi manfaat.

Hatinya bertanya-tanya. Di mana kebenaran? Siapa Tuhan yang sebenarnya?

Semakin hari, kegelisahan itu semakin kuat. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia cari, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar harta, kekuasaan, atau kebanggaan yang diagung-agungkan oleh Quraisy.

Menemukan Ketenteraman di Gua Hira

Muhammad mulai mencari ketenangan di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Ia sering menyendiri, menjauh dari manusia, mencari jawaban dalam kesunyian. Tempat favoritnya adalah Gua Hira, sebuah gua kecil di atas Jabal Nur, sebuah gunung yang terletak beberapa kilometer dari Makkah.

Dari puncak gunung itu, Muhammad bisa melihat Ka’bah dari kejauhan. Ia duduk diam di dalam gua, merenungkan alam semesta, memikirkan tentang kehidupan, dan bertanya kepada dirinya sendiri tentang kebenaran yang tersembunyi.

Ia mulai sering berpuasa, menahan diri dari kesenangan dunia, berusaha mendekatkan hatinya kepada sesuatu yang lebih tinggi. Kadang-kadang, ia bermalam di sana, hanya ditemani suara angin yang berhembus dan bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit.

Setiap kali ia kembali ke rumah, Khadijah selalu menyambutnya dengan penuh cinta. Ia tidak pernah mengeluh, tidak pernah mempertanyakan kebiasaan suaminya yang semakin sering menyepi. Sebaliknya, ia mendukung Muhammad sepenuhnya, memastikan bahwa suaminya memiliki makanan dan bekal yang cukup setiap kali pergi ke Gua Hira.

Tanda-Tanda dari Langit

Beberapa bulan terakhir, Muhammad mulai mengalami sesuatu yang aneh. Ia sering bermimpi, dan mimpi-mimpi itu selalu menjadi kenyataan.

Ia melihat cahaya yang terang, mendengar suara-suara yang tidak ia mengerti, dan merasa ada sesuatu yang sedang mendekat kepadanya. Ia tidak tahu apa artinya, tetapi hatinya semakin yakin bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.

Hingga suatu malam di bulan Ramadan, ketika langit Makkah begitu tenang dan bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, segalanya berubah.

Di dalam kesunyian Gua Hira, Muhammad duduk dalam keheningan, seperti malam-malam sebelumnya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.

Tiba-tiba, sebuah cahaya yang luar biasa terang muncul di dalam gua. Muhammad terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa ada sesuatu yang hadir di hadapannya.

Lalu, terdengar suara yang begitu kuat, memenuhi seluruh gua.

“Iqra’!”

Muhammad terperanjat. Suara itu begitu nyata, begitu tegas.

“Bacalah!”

Dengan gemetar, Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca…”

Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih mendesak.

“Bacalah!”

Sekali lagi, Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca…”

Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu menekannya dengan kuat, seolah seluruh tubuhnya dipeluk erat.

Kemudian suara itu berkata:

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu adalah Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan pena, mengajarkan apa yang tidak diketahuinya.”

Muhammad gemetar. Keringat membasahi tubuhnya. Ia merasa seolah seluruh alam semesta mengguncang dirinya.

Saat ia melihat sosok yang berbicara kepadanya, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya—seorang malaikat yang begitu besar, memenuhi seluruh cakrawala. Itulah Jibril, utusan Allah.

Dengan tubuh yang masih bergetar, Muhammad segera berlari turun dari gunung. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan. Ia merasa seolah dunia yang ia kenal selama ini telah berubah dalam sekejap.

Sesampainya di rumah, ia langsung menemui Khadijah.

“Selimuti aku… selimuti aku…” katanya dengan suara gemetar.

Khadijah segera mengambil selimut dan membalut tubuh suaminya dengan penuh kasih sayang. Ia belum tahu apa yang terjadi, tetapi ia tahu bahwa ini bukan sesuatu yang biasa.

Setelah Muhammad merasa sedikit tenang, ia mulai menceritakan semuanya. Bagaimana cahaya itu muncul, bagaimana suara itu berbicara kepadanya, bagaimana Jibril datang membawa wahyu.

Khadijah mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada sedikit pun keraguan di hatinya. Ia tahu bahwa suaminya tidak mungkin berbohong. Ia tahu bahwa Muhammad adalah manusia paling jujur yang pernah ia kenal.

“Demi Allah, Dia tidak akan menyia-nyiakanmu,” kata Khadijah dengan lembut. “Engkau selalu menyambung tali silaturahmi, membantu orang miskin, menolong yang lemah, dan selalu berkata jujur. Allah tidak akan menimpakan keburukan kepadamu.”

Namun, apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Siapakah Jibril?

Mengapa suara itu memintanya untuk membaca?

Dan apa arti semua ini bagi hidup Muhammad?

(Bersambung ke Seri 10 – Kembali kepada Waraqah bin Naufal)

spot_img

Tarkhim PDM Kabupaten Semarang: Menguatkan Gerakan Islam di PCM Kaliwungu

KALIWUNGU, JAKARTAMU.COM | Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Semarang kembali menggelar Tarkhim Ramadhan sebagai bagian dari agenda dakwah...

More Articles Like This