Oleh : Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati
Makkah masih gelap. Hanya beberapa pelita yang menyala di rumah-rumah kaum Quraisy. Di kejauhan, di lembah yang sunyi, sekelompok orang berjalan dengan hati-hati.
Mereka berasal dari Yatsrib, sebuah kota yang terletak sekitar 450 km dari Makkah.
Malam itu, mereka memiliki misi besar—bertemu dengan Nabi Muhammad SAW secara rahasia.
Benih Islam di Yatsrib
Yatsrib bukan kota yang asing bagi Rasulullah. Ibunya, Aminah, dimakamkan di sana.
Namun, kota ini juga memiliki konflik yang rumit. Dua suku utama, Aus dan Khazraj, telah lama bertikai.
Pertumpahan darah tak pernah berhenti. Setiap pertempuran melahirkan dendam baru.
Mereka lelah. Mereka haus akan pemimpin yang bisa menyatukan mereka.
Dan saat musim haji tiba, beberapa orang Yatsrib mendengar tentang seorang nabi yang membawa pesan tauhid.
Di tengah kebisingan Makkah, mereka bertemu dengan Muhammad bin Abdullah.
Dan hati mereka langsung tersentuh.
“Ini yang kita cari,” kata mereka.
Maka, di tahun ke-11 kenabian, enam orang dari Yatsrib masuk Islam dan berjanji akan kembali membawa lebih banyak orang.
Baiat Aqabah Pertama
Tahun berikutnya, jumlah mereka bertambah menjadi dua belas orang.
Mereka bertemu dengan Rasulullah di dekat Bukit Aqabah, di luar Makkah.
Dalam sunyi malam, mereka mengulurkan tangan.
“Kami berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah, untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak berdusta, dan tidak menolak kebaikan.”
Rasulullah tersenyum.
“Jika kalian memenuhi janji ini, surga adalah balasannya.”
Maka, lahirlah perjanjian pertama antara Rasulullah dan kaum Yatsrib.
Mereka kembali ke Yatsrib dengan membawa seorang guru, Mus’ab bin Umair.
Tugasnya? Menyebarkan Islam.
Dan Mus’ab berhasil. Dalam waktu singkat, Islam menyebar luas di Yatsrib.
Bahkan, tokoh-tokoh penting seperti Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair masuk Islam dan menjadi pendukung utama Rasulullah.
Ketika musim haji tiba lagi, mereka datang dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Baiat Aqabah Kedua: Janji untuk Melindungi Rasulullah
Kali ini, tujuh puluh tiga pria dan dua wanita datang dari Yatsrib.
Malam itu, di tempat yang sama, di Aqabah yang sunyi, mereka berdiri mengelilingi Rasulullah.
Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah, ikut hadir. Ia belum masuk Islam, tetapi mencintai keponakannya.
“Wahai orang-orang Yatsrib,” kata Abbas. “Muhammad adalah bagian dari kami. Jika kalian berniat membawanya ke negeri kalian, pastikan kalian melindunginya. Jika tidak, lebih baik tinggalkan dia sekarang.”
Salah satu dari mereka, Al-Barra bin Ma’rur, menjawab dengan tegas.
“Kami tidak datang dari jauh hanya untuk meninggalkan Muhammad. Kami akan melindunginya dengan nyawa kami.”
Maka, Rasulullah mulai berbicara.
“Baiatlah kepadaku bahwa kalian akan melindungiku seperti kalian melindungi keluarga kalian sendiri.”
“Demi Allah, jika kami melindungimu, apakah kami akan mendapat surga?” tanya seseorang.
Rasulullah tersenyum. “Ya.”
Dan serentak, mereka mengulurkan tangan.
Maka, perjanjian besar itu pun terjadi.
Namun, di antara mereka, ada seorang pemuda yang gelisah.
Namanya adalah Abu Al-Haitham bin At-Taihan.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Jika kami membela engkau, apakah engkau akan meninggalkan kami jika engkau menang?”
Rasulullah menatapnya.
“Darah kalian adalah darahku. Aku milik kalian, dan kalian milikku. Jika kalian menepati janji ini, aku tidak akan pernah meninggalkan kalian.”
Dan saat itulah, Islam menemukan rumah barunya.
Yatsrib bukan lagi kota yang terpecah belah.
Yatsrib kini adalah harapan baru bagi Islam.
Namun, Baiat Aqabah ini bukan sekadar janji.
Ini adalah tantangan langsung bagi Quraisy.
Dan Quraisy tidak akan tinggal diam.
(Bersambung ke Seri 19 – Konspirasi Maut: Malam di Gua Tsur)