IKATAN Mahasiswa Muhammadiyah lahir pada 14 Maret 1964, empat tahun setelah berdirinya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, 1960). Kelahiran dua organisasi mahasiswa ini didorong situasi politik 1960-1965 yang memanas, mengantisipasi jika kelak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan lantaran PKI sedang berada di atas panggung revolusi Soekarno.
Pada resepsi penutupan Kongres CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi mahasiswa yang bernaung di bawah PKI, yang dihadiri 10.000 massa di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta tanggal 29 September 1965, massa PKI meneriakkan yel-yel “Bubarkan HMI….bubarkan HMI!” di hadapan Presiden Soekarno. “Kalau tidak dapat membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung” tegas Ketua PKI D.N. Aidit dalam pidatonya yang penuh semangat.
Sarung dikonotasikan sebagai representasi kalangan santri yang dekil, bodoh, dan reaksioner.
HMI (juga PII) dianggap kader Masyumi yang telah dipaksa membubarkan diri pada September 1960, setelah diancam bubar pada Pidato Presiden 17 Agustus 1960. Pasang naik bendera Palu Arit tak tertandingi di Pulau Jawa. Di Jakarta sepanjang jalan utama Matraman sampai Gunung Sahari, Hayam Wuruk- Gajah Mada bendera Palu Arit berkibar mendominasi penuh. Sejak momentum HUT PKI 23 Mei 1965, berlanjut pada Agustusan sampai September 1965.

Tokoh IMM, Muhammad Djazman Al Kindi (cucu KH Ahmad Dahlan) merintis Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang berawal dari IKIP Muhammadiyah Surakarta. Nama-nama lain yang menyertai Djazman adalah Rosyad Sholeh, Sudibyo Markus, Amien Rais dan Abdul Hadi WM (dikenal sebagai sastrawan muslim).
Nama-nama di atas itu menduduki posisi ketua dan wakil ketua. Dalam kepengurusan periode pertama nampak nama-nama tersebut tampil antara lain Syamsul Hudaya sebagai sekretaris dan Marzuki Usman (FE UGM asal Jambi) sebagai bendahara. Semacam sekoci-nya HMI, IMM lahir di belakang PMII yang memang mendahului untuk menampung mahasiswa Nahdliyin yang mulai bersimpang jalan dengan Masyumi, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sampai perjuangan di DPR dan Badan Konstituante (Pembuat UUD ketika UUD 1945 tak berlaku sejak 17 Agustus 1950-5 Juli 1959), NU bersama Masyumi, juga PSII dan Perti masih terkonsolidasi dan satu kubu menghadapi golongan nasionalis.
Di dalam kelompok ini PKI bergabung tatkala pemilihan dasar negara (Islam versus Pancasila), kembali atau tidak kembali ke UUD 1945 yang digaungkan Bung Karno dengan sepenuh dukungan golongan tentara (Jenderal Abdul Harus Nasution cs ).
Sementara itu baik golongan Islam maupun Pancasila tak mencapai 2/3 jumlah suara (Islam 44% dan Pancasila 56%). Konstituante dead lock, begitu kata tentara. Undang-undang Darurat Militer diberlakukan pada 1958 oleh Nasution dengan back up politik Soekarno .
Situasi dan kondisi politik semakin ruwet ditumpangi situasi pemberontakan (PRRI/ Permesta di daerah-daerah serta DI/ TII yang tak tertuntaskan), ditambah perebutan aset nasionalisasi pertambangan, perkebunan, dan perusahaan Belanda antara Angkatan Darat dengan PKI. Sebenarnya era awal 1950 an sampai Pemilu 1955 dan Pemilu Daerah 1957, ekonomi Indonesia mulai tumbuh berkat ekspor timah, karet, tembakau dan lain-lain.
Begitu memasuki Trikora (1961-1963), Belanda lalu angkat kaki dari Papua atau Irian Barat (Mei 1963). Papua yang secara defacto menjadi bagian Indonesia secara de jure diselesaikan melalui Pepera (pemungutan Pendapat Rakyat/Referendum 1968).
Amerika Serikat sangat berperanan di sini karena pancingan Soekarno yang “mendekati ” Rusia dalam perolehan senjata untuk pertahanan dan keamanan RI para 1962-1965. Dalam kurun waktu itu, tentara Indonesia terkuat di Asia Tenggara.
Begitulah kegentingan politik dan polarisasi aliran politik yang ingin disatukan Bung Karno dengan Nasakomnya mengiringi kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai sekoci dan sekaligus keluarnya Muhammadiyah dari Masyumi pada awal 1960. Selamat Milad IMM (14 Meret 1964- 14 Maret 2025). (*)