JAKARTAMU.COM | Dari awal hingga akhir, al-Qur’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an yufassir-u ba’dhuhu ba’dha.
Ulama Fikih Prof Dr KH Muhammad Ali Yafie (1926 – 2023) dalam buku “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” mengatakan dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya.
Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal “interpretasi historis.”
Ali Yafie menjelaskan dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata.
Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur’an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
Asas Nasikh-Mansukh
Menurut Ali Yafie, andaikan al-Qur’an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan.
Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an.
Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Di dalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan.
Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukum di dalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri.
Akan tetapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur’an tidak ada kontradiksi (ta’arudl).
Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta’arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.
Pengertian Nasikh-Mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan.
Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan.
Di antara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq).
Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum (‘am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya. Dengan begitu, pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya.
Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.