Sabtu, Februari 22, 2025
No menu items!

Nasikh Mansukh dalam Al-Quran: Jenis-Jenis Naskh

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Ulama Fikih Prof Dr KH Muhammad Ali Yafie (1926 – 2023) mengatakan adanya naskh antara satu syari’at dengan syari’at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari’at Nabi Isa as dengan syari’at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada.

“Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari’at, dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari’at-syari’at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari’at Nabi Muhammad SAW,” ujar KH Ali Yafie dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” bab “Nasikh Mansukh dalam Al-Quran”.

Jadi, menurutnya, adanya nasikh-mansukh antar syari’at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/negara dengan pemerintahan/negara lainnya.

Contohnya, adanya pemerintahan/negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.

Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar-syari’at, apakah di dalam satu syari’at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? “Jika kita kembali pada syari’at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini,” jelasnya.

  1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat.

Kasus lain misalnya dalam hal salat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 rakaat. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum salat.

  1. Di bidang muamalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang (‘iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu tahun.

Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

KH Ali Yafie mengatakan dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari’at Islam.

Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain.

Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.

Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur’an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur’an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.

Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadis yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadis yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadis yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.

Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ulama ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur’an dengan Hadis/Sunnah. Jika disimak alasan masing masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur’an dan Sunnah dalam syari’at itu sendiri.

Forza Gamawijaya (1): Langkah Pertama Sang Senopati

Oleh: Dwi Taufan Hidayat LANGIT jingga terbentang di atas Urut Sewu, garis pantai selatan yang memanjang dengan deburan ombak tak...

More Articles Like This