JAKARTAMU.COM | Ulama Fikih Prof Dr KH Muhammad Ali Yafie (1926 – 2023) mengatakan masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan techniseterm dengan batasan pengertian yang baku.
Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan). [13] Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh.
“Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih tampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol,” ujar ujar KH Ali Yafie dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” bab “Nasikh Mansukh dalam Al-Quran”.
Meski demikian, kata KH Ali Yafie, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.
Hirarki Penggunaan Naskh
KH Ali Yafie menjelaskan yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari’at?
Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syariat, baik al-Qur’an maupun Hadis setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin.
Semua segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain.
Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam’) atau memperkuat salah satu di antaranya (tarjih). Baik upaya jam’ maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut.
Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi.
Kawasan Penggunaan Naskh
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum di dalam syariat ada kemungkinannya terjangkau naskh?
Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh.
Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta.
Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, kata KH Ali Yafie, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undang Undang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan.
Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
- Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
- Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
- Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
- Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.