Minggu, Maret 9, 2025
No menu items!
spot_img

Negara Sakit, Rakyat Dipaksa Sehat: Ironi Sistem yang Rapuh dan Ketimpangan yang Mengakar

spot_img
Must Read

JAKARTAMU.COM | Diksi “negara sakit” bukan sekadar metafora, melainkan gambaran nyata dari kondisi suatu negara yang terjebak dalam lingkaran krisis multidimensi. Istilah ini menyoroti kegagalan sistemik dalam berbagai aspek, mulai dari kesehatan, ekonomi, hukum, hingga tata kelola pemerintahan.

Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat justru terlihat seperti pasien kronis yang tak kunjung sembuh, sementara rakyatnya dipaksa untuk tetap “sehat” dalam kondisi yang tidak mendukung.

Kesehatan: Fasilitas yang Tidak Memadai dan Ketimpangan Akses


Sektor kesehatan sering menjadi tolok ukur utama dalam menilai kesejahteraan suatu negara. Namun, di negara yang “sakit,” fasilitas kesehatan justru menjadi cerminan ketidakadilan. Misalnya, pada masa pandemi COVID-19, banyak negara berkembang menghadapi kelangkaan alat pelindung diri (APD), tempat tidur rumah sakit, dan vaksin. Di Indonesia, misalnya, laporan dari berbagai daerah menunjukkan bahwa rumah sakit kewalahan menangani pasien, sementara tenaga kesehatan harus bekerja tanpa perlengkapan yang memadai. Ironisnya, di saat yang sama, kasus korupsi dana bantuan COVID-19 justru mencuat, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi di Kementerian Kesehatan yang melibatkan pejabat tinggi.

Contoh lain adalah ketimpangan akses kesehatan antara kota dan desa. Di daerah terpencil, banyak masyarakat yang harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar. Sementara itu, di kota-kota besar, fasilitas kesehatan yang lengkap hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu yang memiliki kemampuan finansial. Ketidakmerataan ini memperparah kondisi “negara sakit,” di mana rakyat kecil menjadi korban utama.

Ekonomi: Kebijakan yang Tidak Berpihak dan Kemiskinan Struktural


Aspek ekonomi juga menjadi sorotan tajam dalam narasi “negara sakit.” Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat kecil seringkali memperlebar jurang ketimpangan. Misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti dengan kenaikan harga sembako, membuat beban hidup masyarakat semakin berat. Di Venezuela, hiperinflasi dan kebijakan ekonomi yang tidak tepat telah menyebabkan krisis pangan dan kesehatan yang parah. Rakyat dipaksa bertahan dalam kondisi yang semakin sulit, sementara elit politik dan pengusaha terlihat tetap menikmati kemewahan.

Di Indonesia, kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UU Omnibus Law) juga menuai kritik karena dianggap lebih berpihak kepada investor daripada buruh dan masyarakat kecil. Protes besar-besaran dari buruh dan mahasiswa menunjukkan betapa kebijakan ini dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap hak-hak rakyat. Dalam konteks “negara sakit,” kebijakan seperti ini justru memperburuk kondisi ekonomi rakyat, sementara segelintir orang diuntungkan.

Hukum: Ketidakadilan dan Korupsi yang Merajalela


Sistem hukum yang lemah dan korupsi yang merajalela adalah ciri khas dari “negara sakit.” Hukum seringkali tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi seringkali berakhir dengan vonis ringan atau bahkan dibebaskan, sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran kecil harus menghadapi hukuman berat. Contoh nyata adalah kasus korupsi dana bansos (bantuan sosial) di Indonesia yang melibatkan pejabat Kementerian Sosial. Meskipun kasus ini mencuat ke permukaan, banyak pihak meragukan adanya perubahan sistemik yang signifikan pasca kasus tersebut.

Selain itu, ketidakadilan hukum juga terlihat dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Kasus pembunuhan aktivis lingkungan, seperti Munir Said Thalib, hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. Ketidakmampuan negara dalam menegakkan keadilan semakin memperkuat citra “negara sakit” yang tidak mampu melindungi hak-hak dasar warganya.

Tata Kelola Pemerintahan: Birokrasi yang Tidak Efisien dan Kebijakan yang Tidak Transparan


Birokrasi yang berbelit-belit dan tidak efisien adalah salah satu gejala dari “negara sakit.” Proses pengurusan dokumen yang seharusnya bisa diselesaikan dalam hitungan hari justru memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Hal ini tidak hanya menghambat pelayanan publik, tetapi juga membuka ruang bagi praktik suap dan korupsi. Di Filipina, misalnya, birokrasi yang korup dan tidak transparan telah menjadi penghambat utama dalam pembangunan infrastruktur dan pemberantasan kemiskinan.

Kebijakan pemerintah yang tidak transparan juga seringkali menuai kritik. Misalnya, dalam kasus pembangunan proyek strategis nasional yang melibatkan dana besar, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di Indonesia. Meskipun proyek ini dianggap sebagai kemajuan, banyak pihak mempertanyakan transparansi dalam proses pengadaan dan alokasi dana. Ketidakjelasan ini menimbulkan kecurigaan adanya praktik korupsi dan kolusi.

Kesimpulan: Refleksi dan Harapan Perubahan


Diksi “negara sakit” dan “rakyat dipaksa sehat” adalah sindiran tajam terhadap kondisi negara yang gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat. Krisis kesehatan, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, dan birokrasi yang tidak efisien adalah gejala-gejala yang memperparah kondisi ini. Namun, kritik ini juga harus menjadi refleksi bersama untuk mendorong perubahan sistemik. Tanpa upaya serius untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan, memberantas korupsi, dan menciptakan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, “negara sakit” akan terus menjadi beban bagi generasi mendatang.

Perubahan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil, media, dan lembaga swadaya masyarakat. Hanya dengan kerja kolektif, “negara sakit” bisa sembuh dan rakyat benar-benar merasakan keadilan dan kesejahteraan yang merata. (Dwi Taufan Hidayat)

spot_img

Tarkhim PDM Kabupaten Semarang: Menguatkan Gerakan Islam di PCM Kaliwungu

KALIWUNGU, JAKARTAMU.COM | Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Semarang kembali menggelar Tarkhim Ramadhan sebagai bagian dari agenda dakwah...

More Articles Like This