Minggu, Maret 16, 2025
No menu items!
spot_img

Negeri Kaya Raya, tapi Tetangga yang Mewah: Sebuah Ironi Bernama Salah Kelola

spot_img
Must Read

JAKARTAMU.COM | Di negeri yang tanahnya subur, airnya berlimpah, hasil alamnya tak tertandingi, dan lautnya luas membentang, kita selalu diajarkan bahwa kekayaan sumber daya adalah anugerah yang akan membawa kita pada kesejahteraan. Kita tumbuh dengan dongeng bahwa negeri ini adalah “gemah ripah loh jinawi,” tempat di mana tongkat kayu bisa jadi tanaman dan air laut mengandung emas.

Namun, lihatlah kenyataan. Lihatlah tetangga kecil kita, Singapura—sebuah negara yang bahkan harus membeli air dari Malaysia, yang tidak punya perkebunan sawit, tambang emas, atau ladang gas. Tetapi di sana, pengangguran pun bisa mendapatkan tunjangan yang lebih besar dari gaji pegawai di negeri kita. Sementara di sini, bekerja keras pun belum tentu cukup untuk bertahan hidup.

Ironi ini bukan soal kekayaan alam, melainkan soal bagaimana sebuah negara dikelola. Kita adalah negeri yang kaya, tapi sayangnya, tidak semua kekayaan itu berakhir di tangan rakyat. Kekayaan kita tersedot oleh kebijakan yang lebih berpihak pada segelintir elite, oleh kebocoran anggaran, dan oleh birokrasi yang lebih pandai menciptakan hambatan daripada solusi.

Mengapa Singapura Lebih Maju, Padahal Sumber Daya Alamnya Nol?

Mari kita bandingkan. Singapura tidak punya tambang emas, tetapi devisanya jauh lebih stabil. Mereka tidak punya perkebunan sawit, tetapi industri dan teknologinya merajai Asia Tenggara. Mereka tidak perlu membanggakan kekayaan alam karena mereka membangun kesejahteraan dari sumber daya manusia, tata kelola yang baik, dan kebijakan yang berpihak pada kemajuan.

Di sisi lain, Indonesia yang katanya “kaya raya” justru masih berkutat dengan masalah klasik: kemiskinan, ketimpangan ekonomi, infrastruktur yang timpang, pendidikan yang tertinggal, dan birokrasi yang tidak efisien. Kita sibuk menggali emas, tapi rakyatnya tetap miskin. Kita punya minyak, tapi harganya di dalam negeri lebih mahal daripada di negara lain. Kita eksportir batu bara terbesar, tapi rakyat sendiri harus membayar tarif listrik yang kian mencekik.

Jadi, apakah masalah kita adalah kurangnya kekayaan alam? Tidak. Masalah kita adalah salah urus.

Kesalahan yang Terus Diulang: Salah Urus dan Prioritas yang Keliru

Singapura tidak menjadi kaya karena sumber daya, melainkan karena pemimpin yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Di sana, birokrasi dipangkas, korupsi diberantas habis, dan kebijakan dibuat berdasarkan rasionalitas ekonomi, bukan kepentingan kelompok tertentu.

Sementara di negeri ini, kebijakan ekonomi lebih sering dibuat berdasarkan kepentingan oligarki. Subsidi dipotong dengan alasan “beban anggaran,” sementara fasilitas mewah untuk pejabat justru bertambah. Pajak dinaikkan untuk rakyat kecil, tapi pengemplang pajak dari kalangan elite tetap bisa tersenyum santai.

Alih-alih membangun industri berbasis riset dan inovasi, kita masih sibuk mengekspor bahan mentah dengan harga murah dan membeli kembali produk olahannya dengan harga mahal. Pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas justru menjadi beban karena biaya yang makin tinggi dan kurikulum yang terus berubah tanpa arah yang jelas.

Lebih ironis lagi, setiap kali ada kebijakan yang merugikan rakyat, pemerintah dengan mudahnya berkata, “Harap maklum, ini keputusan terbaik demi kepentingan bersama.”

Lalu, kepentingan siapa? Apakah rakyat benar-benar sejahtera dengan keputusan tersebut, atau hanya segelintir pihak yang menikmati hasilnya?

Masih Mau Terjebak dalam Retorika, atau Saatnya Bangkit?

Sudah terlalu lama kita dipaksa menerima kenyataan bahwa “proses pembangunan butuh waktu.” Tapi berapa lama lagi? Sudah lebih dari 70 tahun kita merdeka, tetapi masih berkutat dengan masalah yang sama. Jika tetangga kita bisa berlari, mengapa kita masih berjalan tertatih?

Negeri ini membutuhkan perubahan. Bukan perubahan yang hanya manis dalam slogan, tetapi perubahan nyata dalam cara negara ini dikelola. Kita butuh pemimpin yang berani berpihak pada rakyat, yang tidak hanya pandai berbicara tetapi juga bertindak. Kita butuh kebijakan yang tidak hanya terlihat baik di atas kertas, tetapi juga benar-benar membawa kesejahteraan bagi semua.

Kita tidak bisa terus menunggu. Singapura tidak menjadi maju dalam semalam, tetapi mereka mengambil langkah-langkah konkret dan berani untuk memastikan rakyatnya hidup sejahtera. Jika kita ingin mengejar ketertinggalan, kita harus berhenti berdebat tanpa hasil dan mulai menuntut perubahan yang nyata.

Sebab, kalau kita terus begini, maka 10, 20, atau bahkan 50 tahun ke depan, kita akan tetap menatap Singapura dengan iri—dan tetap bertanya-tanya, “Mengapa mereka bisa, tapi kita tidak?” (Dwi Taufan Hidayat)

spot_img

Bukan Hanya ‘Man Shauma’ Tapi Juga ‘Man Qama’ Ramadhan

JAKARTAMU.COM -- Al Ustadz Drs John Hendri Sutan Iskandar mengingatkan bahwa Ramadhan merupakan bulan Alqur-an. Oleh karenanya, setiap muslim...

More Articles Like This