JAKARTAMU.COM | Di negeri ini, ada dua jenis warga negara: mereka yang berkuasa dan mereka yang diperas. Jika Anda bagian dari oligarki, hukum adalah sekadar teks dalam buku yang bisa dinegosiasikan. Pajak miliaran menguap? Tenang saja, ada tax amnesty, fasilitas istimewa untuk para konglomerat yang selama ini lihai menghindari kewajiban. Tapi jika Anda rakyat biasa, telat bayar pajak kendaraan atau salah sedikit dalam laporan pajak usaha kecil, bersiaplah—kendaraan Anda bisa disita, rekening Anda bisa diblokir, dan usaha Anda bisa digulung habis oleh aturan yang lebih tajam dari pisau bedah.
Mereka menyebut negeri ini demokrasi, tapi yang terjadi justru plutokrasi—pemerintahan oleh dan untuk kaum kaya. Hukum ditekuk-tekuk mengikuti kepentingan mereka yang memiliki sumber daya. Regulasi dibuat untuk melanggengkan dominasi segelintir orang yang mengendalikan ekonomi dan politik, sementara rakyat biasa hanya boleh patuh, membayar, dan diam.
Ironinya, slogan “Pajak untuk kesejahteraan rakyat” terus dikumandangkan seolah negeri ini sedang dalam jalur menuju kemakmuran bersama. Tapi mari kita lihat kenyataan di lapangan. Infrastruktur memang dibangun, tetapi siapa yang menikmati? Jalan tol berbayar untuk mereka yang mampu, bukan jalan gratis bagi rakyat jelata. Pembangunan kota dipercepat, tetapi rakyat kecil justru tergusur dari tanahnya sendiri. Sementara para pengusaha raksasa menikmati tax holiday, usaha mikro dan kecil harus pontang-panting menghadapi pajak, retribusi, dan regulasi yang semakin menekan.
Lalu, ketika krisis melanda, siapa yang menanggung beban? Oligarki punya modal dan akses, bisa mengalihkan aset ke luar negeri atau sekadar lobbying kebijakan yang menguntungkan. Tapi rakyat? Mereka hanya punya dua pilihan: bertahan atau tenggelam. Di saat konglomerat yang menunggak pajak triliunan diberikan keringanan dan penghapusan denda, rakyat kecil yang punya tunggakan pajak kendaraan justru diperlakukan seperti kriminal.
Pajak semestinya adalah alat pemerataan ekonomi, bukan alat pemerasan. Jika pajak memang untuk kesejahteraan rakyat, mengapa jurang kaya dan miskin makin lebar? Mengapa fasilitas publik tetap compang-camping? Mengapa korupsi semakin menggila, tetapi rakyat terus-menerus digenjot untuk membayar?
Negeri ini telah lama menjadi surga bagi para penguasa modal dan neraka bagi rakyat biasa. Dan selama sistem ini tetap berjalan seperti sekarang, selama hukum terus tunduk pada kekuasaan uang, keadilan akan tetap menjadi mimpi yang tak pernah terwujud bagi mereka yang tak punya suara. (Dwi Taufan Hidayat)