JAKARTAMU.COM | Di Desa Kronjo, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten, seorang nelayan bernama Kholid telah muncul sebagai suara vokal dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat pesisir. Keberaniannya mengkritik kebijakan yang dianggap merugikan nelayan tradisional telah menjadikannya simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di wilayah perairan Banten.
Salah satu isu utama yang disoroti oleh Kholid adalah pemasangan pagar laut sepanjang 30 kilometer di perairan Tangerang. Pagar yang terbuat dari ribuan bambu ini membatasi ruang gerak nelayan dalam mencari ikan, meningkatkan biaya operasional, dan merusak ekosistem laut. Dalam sebuah diskusi publik, Kholid dengan tegas menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk keserakahan oligarki yang tidak pernah puas. Ia menegaskan, “Mereka itu adalah oligarki. Kami menyebutnya ‘buta encong’ (apa saja dicaplok). Tidak kenyang, semuanya dicaplok, bahkan laut dan bumi seisinya pun mereka caplok. Tidak pernah kenyang. Dari situlah saya harus melawan.”

Kholid juga mengkritik pemerintah yang dianggap lamban dalam menangani permasalahan ini. Ia menyindir, “Kalau negara tidak berani melawan korporasi-korporasi itu, saya dan rakyat Banten yang akan melawannya.” Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap aparat yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat kecil.
Selain itu, Kholid mengungkapkan praktik licik yang dilakukan oleh korporasi dalam mengambil alih lahan milik warga. Ia menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut mengurug lahan tanpa izin, kemudian memaksa pemiliknya untuk menjual dengan harga yang tidak sepadan. “Si A punya tanah nggak mau jual, tiba-tiba diurug. Setelah diurug, disamperin, dikasih DP. Nggak diterima, tanah udah diurug. Diterima, nggak sesuai harganya,” ungkapnya.
Keberanian dan kecerdasan Kholid dalam menyuarakan ketidakadilan telah menginspirasi banyak pihak. Ia menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat setempat agar kebijakan yang diambil tidak merugikan salah satu pihak. “Pemasangan pagar laut sering kali dilakukan tanpa melibatkan nelayan lokal, padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak,” tegasnya.

Kholid bukan hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi juga mewakili ribuan nelayan lain yang merasa terpinggirkan. Ia menjadi simbol perlawanan yang mewakili harapan bagi banyak orang, menunjukkan bahwa dengan keberanian dan kecerdasan, masyarakat kecil pun mampu melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-haknya. (Dwi Taufan Hidayat)