Oleh Prima Mari Kristanto | Akuntan Publik
GUBERNUR Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi mengevaluasi alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat pada sejumlah ormas. Sebagaimana banyak diberitakan media massa, Dedi menilai bantuan dana hibah untuk ormas sangat tidak proporsional.
Pemprov Jabar mengalokasikan bantuan hibah kepada 134 lembaga dan organisasi yang sudah terverifikasi. Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) mendapat hibah Rp9 miliar dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar hanya Rp700 juta. NU Rp1,7 miliar, KNPI Rp5 miliar, Pramuka Rp4 miliar, Persis Rp500 juta.
Sementara Muhammadiyah tidak dapat sama sekali alias nol. Ditemukan laporan, total dana hibah yang diberikan Pemprov Jabar kepada lembaga dan organisasi yang belum terverifikasi mencapai Rp151 miliar.
Kabar tersebut selayaknya diklarifikasi untuk memastikan kebenarannya agar tidak menimbulkan situasi kurang nyaman di antara pemerintah dan ormas-ormas penerima dana dari pemerintah. Apakah benar Muhammadiyah tidak mendapat dana sama sekali dari pemerintah dalam hal ini pemerintah Pemprov Jawa Barat?
Baca juga: Dedi Mulyadi Soroti Ketimpangan Dana Hibah: KNPI Dapat Miliaran, Muhammadiyah Nol
Barangkali Muhammadiyah tidak mengajukan proposal seperti organisai lainnya. Muhammadiyah, NU, KNPI dan kawan-kawan termasuk kelompok NGO (Non Government Organizations).
NGO memiliki peran yang demikian luas dalam pemberdayaan masyarakat. Sumber pendanaan NGO bisa dari pemerintah atau dari sumber lain yang sah. Dana yang diperoleh NGO dari pemerintah seringkali karena ada kerjasama dalam menjalankan program-program untuk masyarakat.
Kerjasama NGO dan pemerintah terjadi karena pemerintah dengan keterbatasannya tidak bisa menjangkau seluruh pelosok wilayah dan kelompok masyarakat tertentu. NGO dan pemerintah selayaknya menjalin hubungan harmonis dalam mewujudkan kemaslahatan masyarakat dengan beragam keunggulan serta keunikan masing-masing.
NGO-NGO yang profesional bisa menjalankan program-program secara nasional bahkan internasional. Muhammadiyah sebagai salah satu NGO yang oleh para pengamat disebut profesional mampu memiliki cabang tingkat daerah, wilayah dan ranting di seluruh Indonesia bahkan di manca negara sebagai cabang-cabang istimewa.
Sebagai NGO, Muhammadiyah selain mengandalkan iuran anggota yang lebih dominan yaitu mengandakan amal-amal usaha. Amal-amal usaha sebagian besar telah dijalankan secara profesional menggunakan qaidah-qaidah manajemen modern meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai pengendalian dan pengawasan.
Menyebut Muhammadiyah atau Aisyiyah tidak lengkap jika hanya menghitung jumlah anggota, tanpa menyertakan jumlah amal usaha. Muhammadiyah dan Aisyiyah barangkali satu-satunya ormas di Indonesia, bahkan dunia yang iconic sebagai kumpulan manusia dan amal usaha sebagai satu kesatuan. Tanpa nama besar sosok taipan atau konglomerat papan atas, Muhammadiyah dan Aisyiyah menjadi ormas kaya raya berjamaah.
Baca juga: Bank Muamalat Kerja Sama Pemanfaatan Produk Pendanaan dengan Universitas Muhammadiyah Kupang
Jiwa amal usaha yang diwariskan tokoh pendiri Muhammadiyah dan Aisyiyah mirip jiwa bonek alias bondo nekat. Tidak harus menunggu kaya dan mapan untuk mendirikan amal usaha. Keberadaan amal-amal usaha bahkan menjadi syarat tidak tertulis berdirinya suatu cabang atau ranting. Berbeda dengan banyak ormas, yayasan, atau bahkan partai politik yang cukup dengan akta notaris, sejumlah anggota dan papan nama sudah ‘sah’ sebagai ormas, yayasan atau cabang, ranting partai politik.
Banyak amal usaha dirintis juga dijalankan dengan penuh ‘akrobatik’ antik. Unik karena menggunakan kearifan lokal masing-masing daerah, cabang, ranting. Cara-cara merintis dan mengembangkan amal usaha seringkali anti mainstream dan out of the box tidak mengikuti qaidah manajemen yang berlaku umum.
Dalam organsisasi modern, pengendalian dan pengawasan sebagai unsur manajemen tidak kalah penting dibandingkan perencanaan dan pelaksanaan. Pemeriksaan atau audit menjadi sarana untuk menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan. Untuk organisasi-organisasi yang terlihat sustain (berkelanjutan) dan berkembang, mustahil tidak menjalankan fungsi-fungsi manajemen modern termasuk audit atau pemeriksaan.
Budaya audit bahkan telah menjadi bagian dari urat nadi kehidupan organisasi-organisasi yang tumbuh dan berkembang. NGO sekelas Muhammadiyah telah menjalankan rutinitas audit pada amal-amal usahanya, baik audit secara internal oleh satuan pengawas persyarikatan maupun audit eksternal oleh Kantor Akuntan Publik. Tidak terkecuali auditor-auditor pemerintah ikut “nimbrung” untuk memastikan berjalannya program kerjasama pendanaan dan pekerjaan seperti BPJS Kesehatan di amal-amal usaha kesehatan.
Budaya audit di Muhammadiyah mampu membentuk budaya kerja yang semakin baik dan profesional, ditandai pertumbuhan jumlah amal-amal usaha semakin tinggi bukti kepercayaan masyarakat pengguna jasa dan penyumbang dalam bentuk infaq, wakaf juga pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan.
Kembali pada “sentilan” Dedi Mulyadi, pemerintah dalam hal ini Pemprov Jawa Barat perlu mawas diri dalam memberikan bantuan kepada ormas-ormas dan NGO yang berkhidmat di masyarakat. Bukan kapasitas Muhammadiyah meminta anggaran pemerintah, tetapi tidak menutup pintu jika ada tawaran kerja sama melakukan kegiatan bersama pemerintah.
Berharap segera ada klarifikasi perihal bantuan dana Pemprov Jawa Barat kepada Muhammadiyah, barangkali ada bentuk kerjasama program yang belum tersampaikan sehingga terkesan tidak ada aliran dana untuk kegiatan-kegiatan Muhammadiyah di Jawa Barat. (*)