Oleh Joko Sumpeno, Jurnalis Senior Jakartamu.com
DI negeri anomali, terjadi gerakan meluas yang memanifestasikan ketiadaan kemampuan merumuskan suatu sikap dan tindakan. Ini terjadi khususnya pada tindakan penegakan hukum dan aturan teknis tentang suatu hal dan umumnya pada pengambilan kebijakan. Padahal, rumus apa, siapa, kapan, di mana/ ke mana, mengapa dan bagaimana itu telah tersedia.
Kerendahan akal budi menerjunkan kecupetan sikap dan kemiskinan berwacana. Jangan lupa pengelabuan makna, penyebaran bahasa iklan serta slogan wani piro. Salah satu ungkapan berbahasa iklan adalah: ”bisanya cuma omon-omon.”
Biro jasa pemenangan kontestasi politik memang cerdik dengan diksi omon-omon yang disematkan terhadap lawan si kontestan yang membayarnya. Diksi omon-omon disematkan agar ditirukan seorang kontestan. Beginilah bunyinya : ”Anda cuma omon-omon, berbeda dengan kami yang kerja, kerja dan kerja.”
Pancaindra kita yang dikomandoi otak memberikan perintah dan mengkoordinasikan lima fungsi, yaitu pendengaran, penglihatan, pembicaraan, penciuman, pengecapan.
Akumulasi pancaindra itu dilengkapi dengan kalbu, yang di sana hubungan transendetal tersambungkan. Kalbu inilah komunikasi ilahiyah, bekerja pada orang yang beriman dan terhidayahi.
Perintah Syar’i
Mengkontradiksikan kecakapan pengungkapan pikiran, kehendak yang tergelar dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian sebagai sekadar omongan dengan kepraktisan semata adalah pengkhianatan terhadap kaedah bagaimana sebuah tindakan itu disiapkan.
Jika wacana itu berhenti kemudian tak mampu ditransformasikan sebagai kebijakan untuk diterapkan pada sektoral dan/atau lintas sektoral, barulah orang nyinyir dengan tuduhan omon-omon itu. Jelas sekali ngawur dan impulsif belaka.
Bukankah dalam proses pendidikan dan latihan yang penuh wacana dibutuhkan kemampuan verbal dan kedalaman literasi? Membaca dan menulis dalam ajaran Islam adalah perintah syar’i (iqra’ wal qalam).
Eh… malah hanya suka mendengar dan menonton belaka, lalu ketawa dan berpelesetan ria. Saya rasa agama lain juga sangat mengutamakan literasi dan observasi berdasar kemampuan pancaindra di bawah perintah otak.
Oleh karena itu, jika kini bahasa iklan yang tendensius lebih dikagumi dan diamalkan dengan riang gembira, maka jelaslah sudah itu merupakan kemenangan simplifikasi dan pemenuhan nafsu kedangkalan berpikir yang menciderai rasionalitas dan objektivitas dalam melihat permasalahan.
Politik dan Politisi
Mengapa kalian tidak berpikir? Mengapa kamu tak menggunakan akalmu? Mengapa kamu berdiam diri dan mengasingkan ke dunia sufistik? Sebaliknya ugal-ugalan pamer kemegahan bangunan dan luasan lahan yang dibangun dengan berutang?
Politik sebagaimana kata agama, ekonomi, hukum, sosial, mestinya dibaca sebagai apa yang seharusnya dan disandingkan dengan apa yang senyatanya.
Mengapa pula membenci satu kata – politik- padahal itulah proses dan hal Ikhwal pemilihan nilai dan kehendak diputuskan dalam rangkaian kebijakan. Tuduhan politik itu kotor dan seterusnya adalah tanda ketidak mampuan membaca apa dan bagaimana sebuah nilai itu hadir dan dioperasikan. Butuh kemampuan romantika, dinamika, dan dialektika di sana.
Politik sebagaimana kata agama, ekonomi, hukum, sosial, mestinya dibaca sebagai apa yang seharusnya dan disandingkan dengan apa yang senyatanya. Bisa sebagai ilmu dan seni aktualisasinya.
Jika di sana terdapat masalah, muncul jarak antara yang diharapkan dan kenyataan yang ada. Maka, jangan politik, agama, atau hukumnya disalahkan, tetapi tudinglah orang yang berpolitik, para penegak hukum, pelaku ekonomi.
Politik dan hukum yang saling berkelindan merupakan wilayah yang diawali dengan norma-norma berinduk pada nilai yang butuh penegakan. Hukum dan politik sebagai kaedah tentu mengharapkan kesesuaian, keselarasan dan keseimbangan antara nilai filosofis, sosiologis dan yuridis di dalam implementasinya melalui pengambilan kebijakan yang kelak berupa peraturan perundang-undangan.
Tarikan dalam interaksi dan interelasinya yang normatif itu disertai permohonan agar berkeseimbangan. Bukankah nilai keadilan itu kehendak penyeimbangan antara nilai ketenteraman pribadi dan ketertiban antar pribadi?
Bukankah musyawarah itu upaya menyeimbangkan antara kepentingan orang per orang dan kepentingan banyak orang? Bukankah politik itu memperjuangkan kemaslahatan rakyat tanpa harus menindas orang dan golongan banyak orang yang lemah demi kepentingan selapis orang yang kaya dan berkuasa?
Itulah yang sedari awal kita pahami. Yang kotor itu politisinya bukan politiknya. Islam itu sempurna dan memperbaiki akhlak, akidah dan muamalah setiap orang. Dan setiap muslim berkewajiban untuk belajar, bukan semata dikhususkan bagi segelintir orang yang disebut habaib, kiai dan ustaz.
Sebab yang kotor itu bisa jadi orang yang disebut kiai, pengasuh pondok santri, pelajar, atau mahasiswa. Orang-orang yang disebut status dan perannya ini, kadangkala khilaf sampai kurangajar yang kemudian mengotori apa yang seharusnya diimani itu.
Keimanan menuntut pikiran, ucapan, hingga tindakan bagi setiap mukmin. Jika keyakinan itu hanya sampai dibibir saja, tibalah status munafik disandangnya. Inilah yang paling berbahaya.
Jika pengingkaran dan pemutar balikan oleh kaum munafikun di atas dengan basis massa jahiliyah (bodoh) bersekutu mengembangkan bahasa iklan, semisal omon-omon, maka kita pantas bertanya: Mengapa kita bangga atas kebodohan dan kemalasan kita? Kenapa kita menyerang personal yang subjektivitas dan tidak mendebat suatu yang objektif? (*)