JAKARTAMU.COM | Cendekiawan muslim Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan para filsuf adalah kalangan orang-orang Islam yang paling banyak melakukan takwil, disebabkan kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah).
Mereka dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris.
“Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan,” ujar Cak Nur dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah”
Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, kata Cak Nur, filsafat adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai “penganut kearifan” (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana (al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan (“para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni kebenaran tak terbantah”).
Kelebihan mereka itu, mereka adalah golongan khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan.
Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin: Averroes), misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi sebagai “orang-orang yang mendalam ilmunya,” karena mereka ini berhak atau wajib melakukan takwil terhadap bunyi teks-teks suci.
Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga “orang-orang yang mendalam ilmunya” termasuk ke dalam yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, “… Padahal tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, “Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami…” sebagai ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas).
Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya. Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi “kebohongan” Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan.
Dengan kata lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan “kebohongan untuk kebaikan” (al-kidzb li al mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taimiyyah. Karena “pendidikan” itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama.
Para flsuf harus melakukan takwil terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah (Hadis), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu.
Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi (karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak).
Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau kemampuan akal mereka.
Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran, baik dari pihak khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd berpendapat, takwil harus disimpan dan dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas saja. Sehingga sering dikatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.
Kaum Kebatinan dan Sufi
KAUM kebatinan (Ahl al-Bawathin) atau al-Bathiniyyun digunakan secara longgar untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok Islam yang orientasinya berat ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha menangkap makna dalam (batin) dari suatu teks atau ajaran agama.
“Karena itu istilah tersebut berlaku untuk hampir semua kelompok esoteris Islam, termasuk kaum Sufi,” tulis Cak Nur.
Menurutnya, oleh kaum Sunni istilah itu juga secara khusus digunakan untuk kelompok Islam tertentu, terutama kaum Isma’ili, penganut aliran Isma’iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi’ah yang muncul sesudah wafat Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq sekitar 148 H (765 M).
Mereka juga dinamakan kaum Syi’ah Sab’iyyah (Syi’ah Tujuh), karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang tujuh (yaitu sejak Hasan ibn ‘Ali sampai Muhammad ibn Isma’il (ibn Ja’far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir).
Dalam hal paham keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyyah atau Syi’ah 12, karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang 12 jumlahnya. Yaitu sejak dari Hasan ibn ‘Ali sebagai imam pertama, melalui Ja’far al-Shadiq seperti kaum Isma’ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar–dan bukannya ke Muhammad ibn Isma’il– kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi.
Menurut Cak Nur, adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran karya-karya polemis pemikir Sunni al-Ghazali dalam rangka usahanya menghancurkan filsafat. Sebab dalam melakukan takwil terhadap fakta-fakta tekstual agama, para pengikut Syi’ah Isma’iliyyah ini memang banyak sekali menggunakan sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-Platonisme.
Mereka memang masih memiliki persamaan dengan orang-orang Muslim lain, seperti pandangan tentang kewajiban melakukan ibadat-ibadat tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada paham tentang adanya ajaran-ajaran esoteris (bathin) yang membentuk sistem filsafat kaum Isma’ili.
Dalam gabungannya dengan semangat keagamaan mereka, sistem filsafat itu menyediakan penyimpangan kandungan batin ajaran-ajaran agama yang antara lain, bagi mereka, memberi dukungan pada usaha pembuktian bahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.
Pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin, semua ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir dan makna batin. Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangan kaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang sulit itu, malah berbahaya bagi mereka, maka makna batin itu ditujukan hanya pada orang-orang istimewa tertentu saja.
Makna dan kebenaran agama, khususnya kandungan al-Qur’an, yang tersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan Nabi kepada ‘Ali, kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan beliau. Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi sajalah yang mampu mengakui peranan khusus ‘Ali, dan hanya mereka inilah yang dapat menangkap makna-makna batiniah agama.