JAKARTAMU.COM | Berikut ini salah satu pokok pandangan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir sebagaimana disampaikan Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996).
Hadis-hadis dan pendapat-pendapat sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi alma’tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Quran.
Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi SAW, demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi SAW adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat.
Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta’rif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk:
(a) Hubungan padanan (tathabuq), seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan “shalat Ashar”;
(b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran ud’uni (dalam QS 40:60) dengan “beribadat”;
(c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti penafsiran al-akhirat (dalam QS 14:27) dengan “kubur”;
(d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran al-maghdhub ‘alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan “orang-orang Yahudi”, dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman penafsiran, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.
Al-Qarafi membagi sikap atau ucapan Nabi SAW dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.
Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-‘aql fih (bukan kalam wilayah nalar), maka ia fi hukm al-murfu’ (bersumber dari Nabi saw.) sehingga ia diterima sebagaimana adanya.
Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak. (*)